Saturday 22 June 2013

perbandingan Mahkamah Konsititusi antar negara


Latar belakang

Sejarah ‘ institusi’ yang berperan melakukan kegiatan “constitusional review” di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap Negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalm lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengkaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan fungsi pengujian kepada badan-badan pengadilan yang sudah ada; da nada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negar didunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara yang lain.
Berkenaan dengan hal tersebuat, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum dapat dilakukan oleh siapa daja atau lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan untuk diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu Negara.
Akan tetapi, Ide pengujian konstitusional ini telah demikan luas diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan di masing-masing Negara. Oleh karena itu, perkembangannya di tiap-tiap Negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai ‘barometer’ penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembagan luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari.

Mahkamah Konstitusi Austria

                model ‘Constitutional Review’ ala Austria. Kadang-kadang oleh para sarjana, model Austria ini disebut juga sebagai „Continental Model‟, „Centralized Model‟, atau bahkan disebut „Kelsenian Model‟ yang didasarkan atas model yang dikembangkan oleh Professor Hans Kelsen pada tahun 1919. Setelah idenya diadopsi ke dalam rumusan UUD pada tahun 1919, Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) yang pertama dibentuk pada tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Asumsi dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip „supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip „supremasi konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di parlemen tidak menyimpang dari pesan-pesan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’. Dengan perkataan lain, dalam model ini, apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan.
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam menjalankan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam Model Austria ini, pengujian dapat bersifat ‘a posteriori’ (a posteriori review) ataupun bersifat ‘a priori’ (a priori review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara ‘a poteriori’, tetapi pengujian ‘a priori’ yang bersifat preventif juga biasa dipraktekkan. Segala putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai kekuatan ‘erga omnes’ yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar („the absolute authority of the institution’). Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang berwenang menjalankan fungsi „constitutional review’ itu dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah Agung dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas public.
beberapa ciri umum yang terdapat dalam sistem „constitutional review‟ menurut Model Austria ini. Ciri-ciri umumnya ialah:
(i). Constitutional review‟ diterapkan dalam keadaan yang beragam, tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap negara;
(ii) Badan-badan pelaksana pengujian atau „constitutional review’ yang bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung;
(iii) Dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘constitutional complaint’, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan pemisahan antara mekanisme „constitutional review‟ dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa;
(iv) Kedudukan konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang administratif dan finansial dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi;
(v) Sifat monopoli dalam melakukan „constitutional review’ atau spesialisasi dalam rangka constitutional review, ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana;

 (vi) Adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen (legislative acts);
(vii) Para hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik (bodies of political power);
(viii) Sifat khusus dari proses peradilan yang diselenggarakan, yaitu bahwa putusannya di samping bersifat juridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni bersifat konsultatif (a purely consultative function);
(ix) Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas atas undang-undang menurut Model Austria ini, pada umumnya, bersifat „represif‟, meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga coraknya yang bersifat preventif yang diterapkan dalam praktek.

MAHKAMAH KONSTITUSI  AMERIKA SERIKAT

Dalam perkembangan selanjutnya, kasus “Judicial Review” yang didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia, terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai „the Guardian of the Constitution‟.
Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine), ‘judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model AS ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized Model”.
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a posteriori review’. Sedangkan, Mahkamah Agung dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka prinsip „stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain.
Pada pokoknya, putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat ‘ex tunc’7 dengan akibat „pro praeterito’ yang menimbulkan efektif retroaktif ke belakang. Tentu sistem demikian berbeda sekali dengan yang diterapkan di Indonesia dewasa ini. Akan tetapi persoalan ini tidak akan didiskusikan disini, melainkan akan dibahas dalam buku tersendiri.
Dari segi kelembagaannya, sistem pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Austria. Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas ‘precedent’. Bahkan hukum dalam sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made law’, atau hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai praktek pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi ‘civil law’ di Eropah Kontinental yang dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem ‘judicial review’ atau „constitutional review’ itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).
Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia, Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania; di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong Kong (sampai 1 Juli 1997), India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet8, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat; Sedangkan di Amerika Utara, selain Amerika
Serikat sendiri, Kanada juga tercatat mengadopsikan prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional review) itu dalam kewenangan Mahkamah Agung mereka.
Selain itu, sistem demikian itu juga diterapkan di kebanyakan negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara di kawasan ini cukup banyak juga yang mempraktekkan sistem pengujian konstitusional (constitutional review) seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Bahamas, Barbados, Belize, Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana, Haiti, Jamaica, Mexico, St. Christopher/Nevis, Trinidad dan Tobago. Semuanya mengikuti pola Amerika Serikat dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusional, yaitu dengan mengaitkannya sebagai kewenangan Mahkamah Agung sebagai „the Guardian of the Constitution
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA

     Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia merupakan hal baru. Dalam pembahasan naskah UUD 1945, Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI memang benar pernah mengusulkan supaya Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang. 


Tetapi, usul ini ditolak oleh Soepomo dengan dalih, wewenang tersebut tidak sesuai dengan pola pikir dan jiwa UUD 1945 yang didesain atas prinsip “supermasi Parlemen”, di mana: selain MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dikenal juga DPR yang merumuskan undang-undang. Adalah kurang relevan apabila ada asumsi dasar, di mana Mahkamah Agung nantinya mengadakan hubungan antar lembaga yang bersifat “checks and balances.” 

      Semenjak itu, ide mengenai wewenang MA melakukan pengujian UU terhadap Konstitusi terkubur dan baru bangkit di era reformasi politik/kekuasaan yang mendesak dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama terhadap ketentuan pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan pasal 7B UUD 1945, supaya memasukkan lembaga Mahkamah Konstitusi kedalam Konstitusi. 

       Amandemen tersebut akhirnya disahkan oleh MPR pada 9/11/2001. Berangkat dari sini, pelaksanaan Mahkamah Konstitusi segera diatur dalam UU Nomor 24/2003 dan disahkan oleh Presiden dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316, pada 13/08/2003. Lembaga MK baru aktif beroperasi sejak tgl. 15/10/2003. Walaupun dalam usianya masih seumur jagung, MK menjaga jarak, bebas dari pengaruh pihak tertentu dan terus bekerja secara profesional.

        Ide pengujian undang-undang terhadap Konstitusi ini sebenarnya, sejak 200 tahun yang lalu sudah dirintis, yakni: pada saat John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat buat pertama sekali melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Maka bermulalah reformasi hukum di Amerika, yang dikenal sebagai negara yang mengamalkan tradisi “common law” menerapkan dengan “decentralize model”. Artinya, semua lembaga peradilan di tingkat negara bagian dan Mahkamah Agung Federal, masing-masing dapat melakukan pengujian konstitusionalitas di Amerika. 

        Pada gilirannya, tafsiran John Marshall yang mengagumkan ini, dikembangkan oleh Hans Kelsen, seorang pakar hukum Austria yang menggagasi dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Austria. Saat dia dipercayakan sebagai salah seorang yang duduk dalam Lembaga Reformasi Hukum Austria, saran-sarannya diterima dan Austria mengadopsi ide ini kedalam Konstitusi Austria tahun 1919 dan dinobatkan sebagai peradilan tata negara pertama di dunia. 

        Penerapan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) di Austria berbeda dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung di USA. Seperti diketahui bahwa Austria, adalah negara yang mengamalkan tradisi “civil law” yang memakai “centralize model”; di mana fungsi pengujian tersebut dipisahkan dan dipusatkan secara tersendiri dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu di Perancis, upaya pengujian undang-undang terhadap konstitusi ini disebut “judicial preview”, oleh karena dalam tubuh Dewan Konstitusi Perancis sudah lama mengakar pandangan bahwa undang-undang adalah bersifat suci dan tidak dapat diganggu gugat. 

        Dewan ini dianggap “keramat”, apalagi dipercayai bahwa undang-undang adalah perwujudan dari keinginan dan pendapat masyarakat; sehingga hanya terhadap rancangan undang-undang (RUU) saja boleh dilakukan pengujian; tidak untuk Undang-undang yang punya kekuatan dan kepastian hukum. Jadi, model yang diamalkan di Perancis bukan “judicial review” (menguji validitas suatu undang-undang yang sah). Kendati pun kritik tajam terus-menerus muncul dari kalangan pakar hukum, karena cara kerja Dewan terkadang mirip seperti mafia yang memakai hukum untuk melegitimasi semua jenis kebijakan dalam politik/kekuasaan. Namun, sampai dewasa ini yang dijalankan masih tetap “judicial preview”, bukan “judicial review”. 

       Soal Mahkamah Konstitusi di Indonesia lebih tepat disebut model “judicial review”, sebab dalam Konstitusi antara lain menyebut: “Mahkamah Konstitusi punya wewenang untuk: menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Dalam konteks inilah muncul kasus yang mempersoalkan pasal 256 UUPA bahwa: “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan.” Setelah diajukan “judicial review” ke atas ketentuan pasal ini, maka atas pertimbangan pengawalan demokrasi dan pelindungan HAM; Mahkamah Konstitusi dalam putusannya: selain meluluskan permohonan “judicial review”, sekaligus me-mansukh-kan pasal 256 UUPA, sebab dinilai berseberangan prinsip demokrasi, jiwa dan semangat UUD 1945.


No comments:

Post a Comment