Latar belakang
Sejarah ‘ institusi’ yang berperan
melakukan kegiatan “constitusional review” di dunia berkembang pesat melalui
tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap Negara. Ada yang melembagakan
fungsi pengujian konstitusional itu dalm lembaga yang tersendiri bernama
Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengkaitkan fungsi pengujian itu kepada
lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas
untuk menjalankan fungsi pengujian kepada badan-badan pengadilan yang sudah ada;
da nada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama
sekali. Pengalaman di berbagai negar didunia memperlihatkan bahwa tradisi yang
mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara yang lain.
Berkenaan dengan hal tersebuat,
memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan
upaya hukum dapat dilakukan oleh siapa daja atau lembaga mana saja, tergantung
kepada siapa atau lembaga mana kewenangan untuk diberikan secara resmi oleh
konstitusi suatu Negara.
Akan tetapi, Ide pengujian
konstitusional ini telah demikan luas diterima dan dipraktikkan di dunia
sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan di masing-masing Negara. Oleh karena
itu, perkembangannya di tiap-tiap Negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas
adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai ‘barometer’ penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus
berkembagan luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional
itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum
dan konstitusi dalam praktik sehari-hari.
Mahkamah Konstitusi
Austria
model ‘Constitutional
Review’ ala Austria. Kadang-kadang oleh para sarjana, model Austria ini
disebut juga sebagai „Continental Model‟, „Centralized Model‟, atau bahkan disebut
„Kelsenian Model‟ yang didasarkan atas model yang dikembangkan oleh Professor
Hans Kelsen pada tahun 1919. Setelah idenya diadopsi ke dalam rumusan UUD pada
tahun 1919, Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) yang pertama dibentuk
pada tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara
prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the
Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the
supremacy of the Parliament). Asumsi dasarnya adalah bahwa pemberlakuan
prinsip „supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip „supremasi
konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di
parlemen tidak menyimpang dari pesan-pesan konstitusi sebagai ‘the supreme
law of the land’. Dengan perkataan lain, dalam model ini, apabila prinsip
kedaulatan rakyat yang tercermin dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan
dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum,
prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan.
Proses pengujian konstitusionalitas
dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri
dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam
menjalankan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete
review). Bahkan, dalam Model Austria ini, pengujian dapat bersifat ‘a
posteriori’ (a posteriori review) ataupun bersifat ‘a priori’ (a
priori review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara ‘a
poteriori’, tetapi pengujian ‘a priori’ yang bersifat preventif juga
biasa dipraktekkan. Segala putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai kekuatan ‘erga
omnes’ yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang
diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar („the absolute authority of the
institution’). Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai
satu-satunya organ yang berwenang menjalankan fungsi „constitutional review’
itu dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah Agung dan di luar
lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas
public.
beberapa ciri umum yang terdapat
dalam sistem „constitutional review‟ menurut Model Austria ini.
Ciri-ciri umumnya ialah:
(i). Constitutional review‟ diterapkan dalam keadaan
yang beragam, tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap negara;
(ii) Badan-badan pelaksana pengujian atau „constitutional
review’ yang bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan
kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung;
(iii) Dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘constitutional
complaint’, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan pemisahan
antara mekanisme „constitutional review‟ dari mekanisme yang berlaku di
pengadilan-pengadilan biasa;
(iv) Kedudukan konstitusional dengan jaminan kemandirian di
bidang administratif dan finansial dianggap prasyarat utama bagi independensi
lembaga peradilan konstitusi;
(v) Sifat monopoli dalam melakukan „constitutional
review’ atau spesialisasi dalam rangka constitutional review,
ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana;
(vi) Adanya kekuasaan
hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen (legislative
acts);
(vii) Para hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh
lembaga-lembaga politik (bodies of political power);
(viii) Sifat khusus dari proses peradilan yang
diselenggarakan, yaitu bahwa putusannya di samping bersifat juridis juga
bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula
memiliki fungsi yang murni bersifat konsultatif (a purely consultative
function);
(ix) Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian
konstitusionalitas atas undang-undang menurut Model Austria ini, pada umumnya,
bersifat „represif‟, meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga coraknya yang
bersifat preventif yang diterapkan dalam praktek.
MAHKAMAH
KONSTITUSI AMERIKA SERIKAT
Dalam perkembangan selanjutnya,
kasus “Judicial Review” yang didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung
Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803 itu
menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia, terutama oleh
negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika
Serikat. Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional
review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai „the
Guardian of the Constitution‟.
Di samping itu, menurut doktrin
yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John
Marshall's doctrine), ‘judicial review‟ juga dilakukan atas
persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui
prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a
decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang
diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian
itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri,
melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam
semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model AS ini juga
biasa disebut sebagai “Decentralized Model”.
Pengujian konstitusional yang
dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a
posteriori review’. Sedangkan, Mahkamah Agung dalam sistem tersebut
menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the
uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusan-putusan
yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara yang
bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka prinsip „stare
decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk
mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau
dalam kasus lain.
Pada pokoknya, putusan mengenai
inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat deklaratoir dan retrospektif
(declaratory and retrospective), yaitu bersifat ‘ex tunc’7 dengan
akibat „pro praeterito’ yang menimbulkan efektif retroaktif ke belakang.
Tentu sistem demikian berbeda sekali dengan yang diterapkan di Indonesia dewasa
ini. Akan tetapi persoalan ini tidak akan didiskusikan disini, melainkan akan
dibahas dalam buku tersendiri.
Dari segi kelembagaannya, sistem
pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat
ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Austria. Dalam sistem Amerika
Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan hakim penting
penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas ‘precedent’. Bahkan
hukum dalam sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made
law’, atau hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall
memprakarsai praktek pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah
Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua tingkatannya
di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi pengujian atau mengesampingkan
berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan
dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa
peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang
dalam sistem demikian tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi ‘civil law’
di Eropah Kontinental yang dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya
terus memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem ‘judicial
review’ atau „constitutional review’ itu tidak memerlukan lembaga
baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada.
Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai
Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector
of the Constitution).
Sistem yang demikian itu, terutama
karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain
diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia,
Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea,
Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan
Tanzania; di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel; di Asia oleh
Bangladesh, Fiji, Hong Kong (sampai 1 Juli 1997), India, Jepang, Filipina,
Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand,
Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet8, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa
Barat; Sedangkan di Amerika Utara, selain Amerika
Serikat sendiri, Kanada juga
tercatat mengadopsikan prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional
review) itu dalam kewenangan Mahkamah Agung mereka.
Selain itu, sistem demikian itu
juga diterapkan di kebanyakan negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Negara-negara di kawasan ini cukup banyak juga yang
mempraktekkan sistem pengujian konstitusional (constitutional review)
seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Negara-negara tersebut antara lain
adalah: Argentina, Bahamas, Barbados, Belize, Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana,
Haiti, Jamaica, Mexico, St. Christopher/Nevis, Trinidad dan Tobago. Semuanya
mengikuti pola Amerika Serikat dalam menjalankan fungsi pengujian
konstitusional, yaitu dengan mengaitkannya sebagai kewenangan Mahkamah Agung
sebagai „the Guardian of the Constitution
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem
hukum ketatanegaraan Indonesia merupakan hal baru. Dalam pembahasan naskah UUD
1945, Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI memang benar pernah mengusulkan supaya
Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang.
Tetapi, usul ini ditolak oleh
Soepomo dengan dalih, wewenang tersebut tidak sesuai dengan pola pikir dan jiwa
UUD 1945 yang didesain atas prinsip “supermasi Parlemen”, di mana: selain MPR
sebagai lembaga tertinggi negara, dikenal juga DPR yang merumuskan
undang-undang. Adalah kurang relevan apabila ada asumsi dasar, di mana Mahkamah
Agung nantinya mengadakan hubungan antar lembaga yang bersifat “checks and
balances.”
Semenjak itu,
ide mengenai wewenang MA melakukan pengujian UU terhadap Konstitusi terkubur
dan baru bangkit di era reformasi politik/kekuasaan yang mendesak dilakukannya
amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama terhadap ketentuan pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C dan pasal 7B UUD 1945, supaya memasukkan lembaga Mahkamah
Konstitusi kedalam Konstitusi.
Amandemen
tersebut akhirnya disahkan oleh MPR pada 9/11/2001. Berangkat dari sini,
pelaksanaan Mahkamah Konstitusi segera diatur dalam UU Nomor 24/2003 dan
disahkan oleh Presiden dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316, pada 13/08/2003. Lembaga MK baru aktif beroperasi sejak tgl.
15/10/2003. Walaupun dalam usianya masih seumur jagung, MK menjaga jarak, bebas
dari pengaruh pihak tertentu dan terus bekerja secara profesional.
Ide
pengujian undang-undang terhadap Konstitusi ini sebenarnya, sejak 200 tahun
yang lalu sudah dirintis, yakni: pada saat John Marshall, Ketua Mahkamah Agung
Amerika Serikat buat pertama sekali melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Maka
bermulalah reformasi hukum di Amerika, yang dikenal sebagai negara yang
mengamalkan tradisi “common law” menerapkan dengan “decentralize model”.
Artinya, semua lembaga peradilan di tingkat negara bagian dan Mahkamah Agung
Federal, masing-masing dapat melakukan pengujian konstitusionalitas di Amerika.
Pada
gilirannya, tafsiran John Marshall yang mengagumkan ini, dikembangkan oleh Hans
Kelsen, seorang pakar hukum Austria yang menggagasi dibentuknya Mahkamah
Konstitusi di Austria. Saat dia dipercayakan sebagai salah seorang yang duduk
dalam Lembaga Reformasi Hukum Austria, saran-sarannya diterima dan Austria
mengadopsi ide ini kedalam Konstitusi Austria tahun 1919 dan dinobatkan sebagai
peradilan tata negara pertama di dunia.
Penerapan
fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) di Austria berbeda dengan pengujian
konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung di USA. Seperti diketahui
bahwa Austria, adalah negara yang mengamalkan tradisi “civil law” yang memakai
“centralize model”; di mana fungsi pengujian tersebut dipisahkan dan dipusatkan
secara tersendiri dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu di
Perancis, upaya pengujian undang-undang terhadap konstitusi ini disebut
“judicial preview”, oleh karena dalam tubuh Dewan Konstitusi Perancis sudah
lama mengakar pandangan bahwa undang-undang adalah bersifat suci dan tidak
dapat diganggu gugat.
Dewan ini
dianggap “keramat”, apalagi dipercayai bahwa undang-undang adalah perwujudan
dari keinginan dan pendapat masyarakat; sehingga hanya terhadap rancangan
undang-undang (RUU) saja boleh dilakukan pengujian; tidak untuk Undang-undang
yang punya kekuatan dan kepastian hukum. Jadi, model yang diamalkan di Perancis
bukan “judicial review” (menguji validitas suatu undang-undang yang sah).
Kendati pun kritik tajam terus-menerus muncul dari kalangan pakar hukum, karena
cara kerja Dewan terkadang mirip seperti mafia yang memakai hukum untuk
melegitimasi semua jenis kebijakan dalam politik/kekuasaan. Namun, sampai
dewasa ini yang dijalankan masih tetap “judicial preview”, bukan “judicial
review”.
Soal Mahkamah
Konstitusi di Indonesia lebih tepat disebut model “judicial review”, sebab
dalam Konstitusi antara lain menyebut: “Mahkamah Konstitusi punya wewenang
untuk: menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Dalam konteks
inilah muncul kasus yang mempersoalkan pasal 256 UUPA bahwa: “calon
perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan.” Setelah diajukan
“judicial review” ke atas ketentuan pasal ini, maka atas pertimbangan
pengawalan demokrasi dan pelindungan HAM; Mahkamah Konstitusi dalam putusannya:
selain meluluskan permohonan “judicial review”, sekaligus me-mansukh-kan pasal
256 UUPA, sebab dinilai berseberangan prinsip demokrasi, jiwa dan semangat UUD
1945.
No comments:
Post a Comment