Sunday 31 July 2016

Status Hukum Uang Publik-Uang Privat

Negara sebagai badan hukum publik dalam melaksanakan fungsi pemerintahan tidak mungkin dapat melaksanakan fungsinya tanpa dukung dengan keuangan negara. uang milik negara adalah uang negara yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya berlak ketentuan-ketentuan APBN dan peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan keuangan negara, anatra lain UU No. 17/2003 jo. UU No. 1/2004 jis UU No. 15/2004 jis. UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku beserta turunanya. dari segi hukum mengenai stastus yuridis kekayaan negara yang dipisahkan jelas terdapat pertentangan antara Undang-Undang no 17 Th 2003 Tentang keuangan negara khusunya pasal 2 huruf g di satu pihak dengan pasal 4 ayat 1 UU no 19 th 2003 tentang BUMN dan Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 seta peraturan pemerintah No.33 th 2006 tentang tata cara pengahapusan piutang negara daerah dilain pihak(pp33/2006).

pertentangan tersebut, telah menimbulkan akibat pertanyataan Ketua BPK menolak pelaksanaan peraturan pemerintah No 33 th 2006 tentang penyelesaian piutang negara/daerah sebagai penganti peraturan pemerintah no 14 th 2005 tentang penyesaian piutang negara/daerah.

baik Ketua BPK maupun pemerintah dan MA disatu pihak adalah sama-sama benar, karena mereka masing-masing berpegang pada hukum positif, yang salah dalam hal ini adalah rumusan pasal 2 huruf g dari UU no. 17 th 2003 yang mengatakan kekayaan negara/daerah yang dipisajlan pada BUMN/BUMD adalah masih tetap berstatus hukum keuangan negara. padahal dari segi teori hukum kekayaan negara/daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD sudah tidak lagi merupakan badan hukum negara/daerah karena telah terjadi "transformasi hukum" status yuridis uang tersebut dari keuangan Negara/daerah sebagai keuangan publik menjadi keuangan badan hukum lain yang berstatus yuridis badan hukum privat. dan terhadap keuangan negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi berlaku ketentuan APBN/APBD, akan tetapi berlaku ketentuan hukum privat dalam hal ini UU no 40 th 2007 tentang perseroaan terbatas dan ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata).

Transformasi hukum ini dipengaruhi pula oleh lingkungan kuasa hukum(rechtgeibied) yang berlaku seketika transformasi ini terjadi. oleh karenanya hukum yang berlaku terhadap kekayang negara/daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD berlaku lingkungan kuasa hukum privat, dan tidak berlaku lingkungan kuasa hukum publik yang berlaku sebelum kekayaan negara/daerah tersebut dipisahkan pada BUMN/BUMD

Lingkungan kuasa hukum atau rechtsgebeid ini berlaku otomatis seketika suatu badan hukum publik melakukan perbuatan hukum di lingkungan hukum perdata.lingkungan kuasa hukum perdata ini berlaku pula pada saat perbankan yang berstatus BUMN/BUMD memberikan pinjaman atau kredit kepada nasabah mereka, kerena di samping status hukum bank BUMN/BUMD tersebut adalah badan hukum perdata yang tidak mungkin mengeluarkan kebujiakan publik, terhadap perbuatan hukum memberikan kredit yang bukan merupakan perbuatan melanggar hukum oleh bank BUMN/BUMD kepada nasabahnya ini pun berlaku lingkungan kuasa hukum perdata atau privaatrechtselijke rechtsgebeid dan bukan lingkungan kuasa hukum publik atau publiekrechtstelijke rechtsgebeid. 



sesuai dengan pasal 4 ayat (3) UU no. 19/2003 tentang BUMN negara pada saat memisahkan kekayaan dalam rangka pendirian BUMN/persero yang dananya berasal dari APBN wajib dilakukan dengan peraturan pemerintah dan ini masih bertindak dalam ranah lingkungan kuasa hukum publik/keuangan negara (publiekrechtelijke rachtsgebeid). namun, ketika negara menyampaikan kehendaknya (wilsvorming) mendirikan BUMN/persero dihadapan notaris maka seketika itu pula negara menundukkan dirinya secara sukarela dan diam-diam pada hukum perdata dan kedudukan yuridis negara adalah sebagai subjek hukum perdata biasa dan kehilangan imunitas publiknya. negara sebagai pemenggang saham sama kedudukan hukumnya dengan anggota masyarakat biasa pemenggang saham lainnya (hubungan horizontal)

Wednesday 27 July 2016

PERKAWINAN SAUDARA TIRI (Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

PERKAWINAN SAUDARA TIRI
(Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.
 Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Perkawinan saudara tiri merupakan perkawinan yang dilakukan oleh saudara yang seayah dan seibu saja. Tetapi masyarakat Indonesia mengangap  hal tersebut dilarang dilakukan, padahal dalam UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam tidak melarangnya, dijelaskan:
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

(Diantara wanita yang tidak boleh kalian nikahi) adalah para wanita yang berada di asuhan kalian, putri dari istri kalian, yang kalian telah melakukan hubungan dengannya. Jika kalian belum melakukan hubungan dengan istri kalian maka tidak mengapa kalian menikahi wanita asuhan itu..” (QS. An-Nisa: 23)

"Tidak diharamkan menikahi anak perempuan dari suami ibu (saudara tiri), tidak juga menikahi ibunya suaminya ibu (nenek tiri), tidak haram juga anak perempuan dari suaminya anak perempuan (cucu tiri), tidak haram juga ibu dari istrinya ayah (nenek tiri) tidak juga anak perempuan dari istri ayah (saudara tiri, persaudaraan karena ibu tiri), tidak pula ibu dari istri anak lelaki (besan), tidak pula anak perempuan dari istrinya anak kandung laki-laki (cucu tiri), dan tidak istri dari anak tiri (yang sudah ada persetubuhan dengan orang tuannya), dan tidak haram pula istri dari bapak tiri" (Raudhotuth thoolibiin: 2/484)

Jadi, yang mengangap perkawinan saudara tiri itu dilarang adalah padangan masyrakat atau adat aja, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan padangan masyarakat atau adat tersebut, karena kita adalah makhluk zoon politicion, yang tidak bias hidup  kalau tidak ada interaksi sesama jenis (makhluk social).