Wednesday 27 July 2016

PERKAWINAN SAUDARA TIRI (Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

PERKAWINAN SAUDARA TIRI
(Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.
 Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Perkawinan saudara tiri merupakan perkawinan yang dilakukan oleh saudara yang seayah dan seibu saja. Tetapi masyarakat Indonesia mengangap  hal tersebut dilarang dilakukan, padahal dalam UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam tidak melarangnya, dijelaskan:
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

(Diantara wanita yang tidak boleh kalian nikahi) adalah para wanita yang berada di asuhan kalian, putri dari istri kalian, yang kalian telah melakukan hubungan dengannya. Jika kalian belum melakukan hubungan dengan istri kalian maka tidak mengapa kalian menikahi wanita asuhan itu..” (QS. An-Nisa: 23)

"Tidak diharamkan menikahi anak perempuan dari suami ibu (saudara tiri), tidak juga menikahi ibunya suaminya ibu (nenek tiri), tidak haram juga anak perempuan dari suaminya anak perempuan (cucu tiri), tidak haram juga ibu dari istrinya ayah (nenek tiri) tidak juga anak perempuan dari istri ayah (saudara tiri, persaudaraan karena ibu tiri), tidak pula ibu dari istri anak lelaki (besan), tidak pula anak perempuan dari istrinya anak kandung laki-laki (cucu tiri), dan tidak istri dari anak tiri (yang sudah ada persetubuhan dengan orang tuannya), dan tidak haram pula istri dari bapak tiri" (Raudhotuth thoolibiin: 2/484)

Jadi, yang mengangap perkawinan saudara tiri itu dilarang adalah padangan masyrakat atau adat aja, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan padangan masyarakat atau adat tersebut, karena kita adalah makhluk zoon politicion, yang tidak bias hidup  kalau tidak ada interaksi sesama jenis (makhluk social).

No comments:

Post a Comment