Tuesday 9 December 2014

Pemekaran Daerah dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Good governance

    Pemekaran Daerah dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Good governance

Seiring dengan era reformasi Tahun 1998, lahirnya Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah yang bertumpu pada Kabupaten/Kota diberi kesempatan dan keleluasaan berkreasi, berinovasi mempercepat laju pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Pemberian hak otonom tersebut bukan semata-mata hanya untuk memekarkan suatu daerah, tetapi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance[1].

Asal mula munculnya “good governance” pada awal tahun 1900-an, diadakan pertemuan Negara-negara donor yang dipromotori oleh Bank Dunia. Pertemuan ini, kemudian dikenal sebagai “Konsensus Washington”. Dalam pertemuan itu terungkap, banyak bantuan asing “bocor” akibat praktik bad governance (pemerintah yang tidak akuntabel, tidak transparan, penyalagunaan wewenang, korupsi, dan lain-lain.). oleh karena itu, kemudian disepakati bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan, yaitu kesediaan untuk mempratikkan good gavernance. [2]

 Konsep good governance bahwa pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun penyedian jasa Pelayanan dan infastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut.[3] Governance menuntut redefinisi[4] peran Negara, dan itu berarti adanya redefinisi pula pada peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.[5]
Jika kita mengacu pendapat World Bank memberikan definisi terhadap governance sebagai

 “the way state power is used in managing economic and sosial resources for development of society. United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative acthority to manage a nation’s affair at all levels.”

Dengan demikian, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administrasi pada pengelolaan Negara.[6]

Para pakar dan praktisi adminsitrasi negara indonesia. Istilah"Good Governance" telah diterjamahkan dalam berbagai istilah misalnya. penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokromidjojo). Tata pemerintahan yang baik (UNDP). pengelolahan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (LAN) dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Clean Goverment). [7]

Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Merujuk pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar.[8]

Membangun good governance dibutuhkan perubahan yang menutut adanya ciri kepemimpinan pada masing-masing pihak yang memungkinkan terbangunya partnership di antara stakeholder [9] di dalam lokalitas tersebut. Partnership adalah hubungan kerja sama atas dasar kepercayaan, kesetaraan dan kemandiriaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak eksekutif maupun legislative, tidak dapat lagi menerapkan model kepemimpinan yang mengasumsikan stakeholder lain sebagai “ pengikut” pasif yang akan menerima setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Dalam good governance, pemerintah dan legislatif harus lebih dekat dengan warga dan inklusif melibatkan warga, baik dari sektor swasta maupun civil society, baik perempuan maupun laki-laki,kelompok tua maupun kelompok muda.[10]

Menurut UNDP karakteristik good governance, sebagai berikut :
1)      Participation ; Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
      keputusan, baik secara langsung maupun secara intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar keabsahan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2)      Rule of law ; Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3)       Transparancy ; Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus informasi. Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4)      Responsive ; Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk
      melayani setiap stakeholders.
5)      Consensus Orientation ; Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6)       Equity ; Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7)       Effectiveness and effeciency ; Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8)      Accountability ; Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9)      Strategic vision ; Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini[11].

Kemudian, Negara Indonesia untuk mencapai good governance maka menerapkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL), AAUPL ini dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang menjadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelengaraan pemerintahan yang layak, dengan cara demikian penyelengaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelangaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tidakan sewenang-wenang.[12]

Selanjutnya, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) dapat dilihat di peraturan-peraturan di indonesia salah satunya Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, dalam Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “penyelengaraan pemerintahan berpedoman pada Asas-asas Umum Penyelengaraan Negara yang terdiri atas, asas kepastian hukum, asas tertib penyelengaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proposionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektif”.[13]






[1] Ir. Manggidar Simbolon, Tujuan Pemekaran Daeah adalah untuk Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Good governance,
 http://tolping-samosir.blogspot.com/2009/04/ir-mangindar-simbolon-tujuan-pemekaran.html 
(diakses tanggal 21-06-2013)
[2] Dr. Pandji Santosa, M.Si.,Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good governance,(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 130
[3] Hetifan JS Sumarto, Inovasi,pratisipasi dan Good Gavernance; 20 Prakasa inovasi dan pratisipasi di Indonesia, (Yayasan Obor Indonesia,2009; Jakarta ). hlm. 1
[4] Yang dimaksud Redefinisi adalah kemampuan merumuskan batasan dengan melihatnya dari sudut lain, bukan dari cara yang  lazim
[5] Ibid, hlm.2
[6] Dr. Yuswanto, S.H., M.H. Hukum Desentralisasi Keuangan,(Rajawali Pres. Jakarta, 2012), hlm. 99
[7] INKINDO Jawa Tengah, http://www.inkindo-jateng.web.id/?p=779, (diakses 14-06-2013, Pukul 20:55Wib)
[8] Goto Kuswanto, SIP.MM, http://www.banyumaskab.go.id/berita/berita_detail/246 (diakses tanggal 14-06-2013, Pukul 21:00wib)
[9] Stakeholder  dimaknai sebagai individu,kelompok atau oraganisasi-perumpuan dan laki-laki yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (secara positif maupun  negative) oleh kegiatan atau program pembangunan
[10] Hetifan JS Sumarto, Inovasi, pastisipasi dan Good gavernance: 20 prakasa inovasi dan partisipasi di indonesia,(Jakarta; Yayasan obor Indonesia,2009). hlm.25

[11]Rasidin Sapawula, Konsep Good governance

 http://mandalaputrayes.blogspot.com/2011/10/konsep-good-governance.html  (diakses tanggal 14-06-2013, jam 22:05wib)
[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Grafindo persada,2006; Jakarta). hlm.247
[13] Ridwan HR, Op.Cit. Hlm.256