Sunday 30 June 2013


Kematian bukan lah perkara
Terkadang sebagaian orang berfikir bahwa kematian itu adalah sebuah perkara, akan tetapi sebenarnya bahwa kematian hanyalah sebuah peristiwa sebagaimana kelahiran bukanlah perkara, yang harus diperkarakan sebenarnya adalah apakah disaat dia (orang) hidup melakukan perbuatan baik atau buruk, sesuai dengan apa yang telah diajarkan Nabi Muhammad kepada kita tentang 5 perkara salah satu perkaranya adalah “hidup belum mati”.
Lalu, kenapa kelahiran dan kematian hanyalah sebuah peristiwa bukan perkara? Karena untuk menjaga kita tidak berlebih-lebihan menanggapi hal tersebut , misalnya jika adanya kelahiran kita sangat begitu senang sampai kita tidak sadar bahwa di saat adanya kelahiran ada juga kematian dan kesenangan kita yang berlebihan itu lah yang menggagu kesedihan atas kematian itu. Begitu pula di saat adanya kematian kita sangat sedih sampai kita tidak sadar bahwa di saat adanya kematian ada juga kelahiran dan kesedian yang berlebihan itu yang menggagu kesenangan atas kelahiran itu.
Jadi kelahiran dan kematian itu bukan perkara Karena untuk menjaga kita tidak  berlebih-lebihan menangagapi hal tersebut dan juga untuk kita saling menjaga perasaan sesama manusia, karena kita tidak bisa hidup sendiri dan ingatlah Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak Menyukai orang-orang yang berlebihan.

Saturday 22 June 2013

PENERAPAN HUKUM PARIWISATA DALAM MENJAGA NILAI ADAT ISTIADA DAN MORAL INDONESIA




Pariwisata merupakan  berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah Dan Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Di Indonesia, pariwisata merupakan sektor ekonomi penting. Pada tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisi setelah komoditi minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Berdasarkan data tahun 2010, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia sebesar 7 juta lebih atau tumbuh sebesar 10,74% dibandingkan tahun sebelumnya, dan menyumbangkan devisa bagi negara sebesar 7.603,45 juta dolar Amerika Serikat.
Kekayaan alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata di Indonesia. Alam Indonesia memiliki kombinasi iklim tropis, 17.508 pulau yang 6.000 di antaranya tidak dihuni, serta garis pantai terpanjang ketiga di dunia setelah Kanada dan Uni Eropa. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar dan berpenduduk terbanyak di dunia. Pantai-pantai di Bali, tempat menyelam di Bunaken, Gunung Rinjani di Lombok, dan berbagai taman nasional di Sumatera merupakan contoh tujuan wisata alam di Indonesia. Tempat-tempat wisata itu didukung dengan warisan budaya yang kaya yang mencerminkan sejarah dan keberagaman etnis Indonesia yang dinamis dengan 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh kepulauan.
Akan tetapi,sayangnya pemerintah lebih memikirkan sektor ekonomi saja dari pariwisata yang telah memberikan devisa bagi Negara, tidak mikirkan moral dan adat-istiadat, padahal salah satu prinsip kepariwisataan adalah “menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.”
Di tambah lagi bahwa kewajiban wisatawan itu salah satunya adalah “ menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat”(pasal 25 UU no 10 Th 2009)  dan “Setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi (pasal 62 UU no 10 th 2009)
Tapi kenyataanya, apakah wisatawan sudah menjaga dan menghormati norma, agama, adat-istiadat, budaya dan nilai-nilai di masyarakat ? Dan apakah pemerintah sudah memberikan sanksi teguran kepada wisatawan terhadap tidak menghormati norma,agama,adat istiadat,budaya dan nilai-nilai di masyarakat? Jawabnya adalah belum.
Salah satu Contoh bahwa wisatawan tidak menghormati norma,agama, adat istiadat,budaya dan nilai-nilai di masyarkat adalah mengunakan pakai bikini di pantai? berciuman di pinggir jalan? Apakah itu sesuai dengan norma, agama, adat-istiadat budaya dan nilai-nilai di masyarakat?TIDAK, lalu, apakah pemerintah memberikan sanksi teguran kepada wisatawan? TIDAK.
Jadi wajarlah kalau norma, agama, adat-istiadat, budaya, dan nilai-nilai di masyarakat sudah mulai pudar dan wajarlah juga Negara kita masih di runway, masih berputar-putar dan tertinggal di landasan karena kita sudah tidak memiliki lagi jati diri.
Jika kita melihat Negara asia yang memeprtahankan budaya asalnya: China, Jepang, india, bahkan Korea dan Thailand. Dalam 50-60 tahun setelah kemerdekaannya, atau setelah bebas dari pengaruh asing, bangsa-bangsa itu sudah lepas landas.


Kejahatan Kesusilaan


C.        PENGATURAN KEJAHATAN KESUSILAAN DALAM KONSEP KUHP 2008

            Menurut konsep KUHP 2008 masalah kejahatan kesusilaan ini mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan rasa kesusilaan dalam masayarakat, serta disesuaikan dengan nilai moral dan nilai kesusilaan bangsa Indonesia.
Berikut ini beberapa pasal dalam konsep KUHP 2008 yang berkaitan dengan kejahatan kesusilaan :

Pasal 468 konsep KUHP 2008 :

(1)   Setiap orang yang membuat tulisan,suara atau rekaman suara,film atau yang dapat disamakan        dengan film,syair lagu, puisi, gambar, atau foto, dan atau lukisan yang dapat mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual, hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesame jenis, atau aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang, atau dengan jenazah,dipidana karena pornografi dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2)   Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang objeknya anak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 7 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori IV.
Pasal 469 Konsep KUHP 2008:

(1)   Setiap orang yang menyiarkan,memperdengarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara,film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi,gambar,foto, dan/atau lukisan melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi media yang mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual, hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan atau sesama jenis, atau aktifitas atau hubungan seksual dengan binatang atau dengan jenazah, dipidana karena pornogrofi dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2)   Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang objeknya anak diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori IV.
Pasal 475 Konsep KUHP 2008:

(1)     Setiap orang yang dimuka umum atau disuatu tempat yang dapat dilihat oleh umum mempertontonkan alat kelamin, melakukan aktivitas seksual, atau melakukan hubungan seks, dipidana karena pornoaksi dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.
(2)      Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang obyeknya anak dipidana penjara paling lama 12 tahun dan pidana denda paling banyak kategori V.
Pasal 476 Konsep KUHP 2008:

Setiap orang yang dimuka umum mempertontonkan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang sedang malakukan hubungan seks, dipidana dengan pidan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak kategori IV.

Pasal 470

Setiap orang yang menjadikan diri sendiri dan/orang lain sebagai model atau objek pembuatan tulisan, suara atau rekaman suara,film, atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi gambar, foto,dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh, aktivitas seksual,aktivitas atau hubungan seksual dengan binatang atau dengan jenazah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak

Pasal 472 Konsep KUHP 2008 :

Setiap orang yang membuat,menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung sifat pornografi di media masa cetak, media massa elektronik, atau alat komunikasi media. Dan yang berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksud sebagai tempat pertunjukan karya seni, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama Sembilan tahun dan pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.

Pasal 473 Konsep KUHP 2008 :

Setiap orang yang membeli barang pornografi dan/atau jasa pornografi tanpa alas an yang dibenarkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak kategori II.

Pasal 476

Setiap orang yang dimuka umum mempertontonkan gerakan atau tarian erotis atau peragaan orang yang sedang melakukan hubungan seks, dipidana dengan pidana paling lama lima tahun dan pidana paling banyak kategori IV.

Dan juga selain pasal-pasal yang ada diatas masih ada pasal-pasal lainnya, yaitu pasal ; 481 Konsep KUHP 2008 – 496 Konsep KUHP 2008 , dan juga pasal 499 Konsep KUHP 2008.

Kompetensi pengadilan pajak


BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Lembaga peradilan adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Sejalan dengan ketentuan tersebut, salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengertian peradilan menurut Mahadi yang dikutip oleh Jaenal Aripin adalah suatu proses yang berakhir dengan memberikan keadilan dalam suatu keputusan. Penyelenggaran kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Pajak dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan peradilan Pajak adalah salah satudari lima lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kewenangan di lingkungan peradilan dibedakan menjadi dua, yaitu kewenangan relatif (relative competentie) dan kewenangan absolut (absolute competentie).
1.2.  Rumusan Masalah
1. Apa pengetian kompetensi relative dan kompetensi absolut di pengadilan?
2. Bagaimana  kompetensi relative dan kompetensi absolut di pengadilan pajak?







BAB II
Pembahasan

2.1. Pengetian Kompetensi

Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu)Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan lingkungan pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Administrasi). Sedangkan berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri atas Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi (Banding), dan Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi).
Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh jumlah pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yang ada, jumlah pengadian tingkat tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan tingkat I (provinsi),
 Sedangkan Mahkamah Agung (kasasi) hanya ada di ibukota Negara sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan yang ada.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara : pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanyakedua dengan melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasiketigadengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Dapat dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN).
 Menurut Sjarah Basah pembagian kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan melalui bagan nerikut:
 a.       Atribusi berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat    (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan:
1)       Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/setingkat. Contoh; Pengadilan Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (Umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer.
2)       Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh; Pengadilan Negeri (Umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
b.      Distribusi berkaitan dengan pemberian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh; Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi Absolut dan KompetensiRelatif.
a.       Kompetensi Absolut
Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara; sebagaimana diketahui berdasarkan pasal 10 UU 35/1999 kita mengenal 4 (empat) lingkungan peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
1)       Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU 2/1999).
2)       Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU 50/2009).
3)       Kompetensi Absolut Dari Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara pidana yang dilakuka oleh anggota militer (baik dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara , dan kepolisian).
4)       Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah  memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah atribusi dari Sjarah Basah itu sama dengan kompetensi absolut dan untuk istilah delegasi adalah sama dengan kompetensi relatf.
Contoh : Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota ABRI maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Militer
Kewenangan Relatif Pengadilan
Kewenangan relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara?”. Dalam hukum acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.
Persoalannya adalah, bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti) seperti dalam hukum acara pidana.
Dalam hal suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap tergugat tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat. Kepada penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari beberapa orang dan masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Jika tergugat terdiri lebih dari satu orang, dimana tergugat yang satu berkedudukan sebagai debitur pokok (debitur principal) sedangkan tergugat lain sebagai penjamin (guarantor), maka kewenang relatif PN yang mengadili perkara tersebut jatuh pada PN yang daerah hukumnya  meliputi tempat tinggal debitur pokok tersebut.
Opsi lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat. Namun jika perkara itu merupakan perkara tuntutan ganti rugi berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata yang sumbernya berasal dari obyek benda tidak bergerak, maka tetap berlaku asas actor sequtur forum rei (benda tidak bergerak itu merupakan “sumber perkara” dan bukan “obyek perkara”). Misalnya, tuntutan ganti rugi atas pembaran lahan perkebunan.
Dalam perjanjian, terkadang para pihak menentukan suatu PN tertentu yang berkompetensi memeriksa dan mengadili perkara mereka. Hal ini, berdasarkan asas kebebasan berkontrak, bisa saja dimasukan sebagai klausul perjanjian, namun jika terjadi sengketa, penggugat memiliki kebebasan untuk memilih, apakah PN berdasarkan klausul yang ditunjuk dalam perjanjian itu atau berdasarkan asas actor sequtur forum rei. Jadi, domisili pilihan dalam suatu perjanjian tidak secara mutlak menyingkirkan asas actor sequitur forum rei, dan tergugat tidak dapat melakukan eksepsti terhadap tindakan tersebut.


2.2. Peradilan pajak

Menurut Istiani1, Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya,   terkadang   dilakukan   tanpa   adanya   peningkatan   keadilan terhadap   para   Wajib   Pajak   itu   sendiri.   Karenanya,   masyarakat   dalam   hal   ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak   memenuhi   asas   keadilan,   sehingga   menimbulkan   berbagai   sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya. Selanjutnya   menurut   Asmara,   kebutuhan   adanya   suatu   lembaga Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut:

1.         Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum
Keberadaan   lembaga   peradilan   pajak   bila   dikaitkan   dengan konsep Negara Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang menghendaki adanya penegakkan hukum
oleh   lembaga   peradilan.   Hukum   yang   ditegakkan   disini   adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara


2.Peradilan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Lembaga   Peradilan   Pajak   sebagai   salah   satu   lembaga perlindungan   hukum   terutama   berfungsi   di   dalam   memberikan perlindungan   terhadap   Wajib  Pajak   dan  penanggung   pajak   dari tindakan pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat. Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa   pajak,   yaitu   sengketa   yang   timbul   dalam   bidang
perpajakan   antara   Wajib   Pajak   dan   penanggung   pajak   dengan pejabat yang berwenang.
Pendapat   Asmara   diatas   selaras   dengan   pendapat   Pudyatmoko   yang dikutip oleh Subki dan Djumadi yang menyatakan bahwa fungsi pengadilan pajak adalah   bukan   sebagai   penegak   hukum   pajak   semata,   tetapi   juga   sebagai instrumen   perlindungan   hukum   bagi   rakyat   selaku   Wajib   Pajak   ketika berhadapan dengan pemerintah sebagai penguasa yang berkedudukan sebagai fiskus.
Dalam   menjalankan   fungsinya,   Pengadilan   Pajak   memiliki   beberapa kompetensi.   Menurut   Saidi,   setidaknya,   Pengadilan   Pajak   mempunyai   dua kompetensi sebagai berikut:
1. Kompetensi relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi   relatif   Pengadilan   Pajak   mencakup   seluruh   wilayah hukum Indonesia.
2. Kompetensi absolut
Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memeriksa   dan   memutus   sengketa   pajak   tidak   boleh   dilakukan oleh   badan   peradilan   lainnya   termasuk   pengadilan   dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.










BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu)Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara : pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanyakedua dengan melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasiKetiga dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi   relatif   Pengadilan   Pajak   mencakup   seluruh   wilayah hukum Indonesia
 kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memeriksa   dan   memutus   sengketa   pajak   tidak   boleh   dilakukan oleh   badan   peradilan   lainnya   termasuk   pengadilan   dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.




perbandingan Mahkamah Konsititusi antar negara


Latar belakang

Sejarah ‘ institusi’ yang berperan melakukan kegiatan “constitusional review” di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap Negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalm lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengkaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan fungsi pengujian kepada badan-badan pengadilan yang sudah ada; da nada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negar didunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara yang lain.
Berkenaan dengan hal tersebuat, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum dapat dilakukan oleh siapa daja atau lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan untuk diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu Negara.
Akan tetapi, Ide pengujian konstitusional ini telah demikan luas diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan di masing-masing Negara. Oleh karena itu, perkembangannya di tiap-tiap Negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai ‘barometer’ penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembagan luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari.

Mahkamah Konstitusi Austria

                model ‘Constitutional Review’ ala Austria. Kadang-kadang oleh para sarjana, model Austria ini disebut juga sebagai „Continental Model‟, „Centralized Model‟, atau bahkan disebut „Kelsenian Model‟ yang didasarkan atas model yang dikembangkan oleh Professor Hans Kelsen pada tahun 1919. Setelah idenya diadopsi ke dalam rumusan UUD pada tahun 1919, Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof) yang pertama dibentuk pada tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Asumsi dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip „supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip „supremasi konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di parlemen tidak menyimpang dari pesan-pesan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’. Dengan perkataan lain, dalam model ini, apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan.
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam menjalankan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam Model Austria ini, pengujian dapat bersifat ‘a posteriori’ (a posteriori review) ataupun bersifat ‘a priori’ (a priori review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara ‘a poteriori’, tetapi pengujian ‘a priori’ yang bersifat preventif juga biasa dipraktekkan. Segala putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai kekuatan ‘erga omnes’ yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar („the absolute authority of the institution’). Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang berwenang menjalankan fungsi „constitutional review’ itu dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah Agung dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas public.
beberapa ciri umum yang terdapat dalam sistem „constitutional review‟ menurut Model Austria ini. Ciri-ciri umumnya ialah:
(i). Constitutional review‟ diterapkan dalam keadaan yang beragam, tergantung masing-masing sistem yang berlaku di tiap negara;
(ii) Badan-badan pelaksana pengujian atau „constitutional review’ yang bersifat independen, didirikan di luar cabang kekuasaan kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung;
(iii) Dalam perkara-perkara yang menyangkut ‘constitutional complaint’, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan pemisahan antara mekanisme „constitutional review‟ dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa;
(iv) Kedudukan konstitusional dengan jaminan kemandirian di bidang administratif dan finansial dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi;
(v) Sifat monopoli dalam melakukan „constitutional review’ atau spesialisasi dalam rangka constitutional review, ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana;

 (vi) Adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen (legislative acts);
(vii) Para hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik (bodies of political power);
(viii) Sifat khusus dari proses peradilan yang diselenggarakan, yaitu bahwa putusannya di samping bersifat juridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni bersifat konsultatif (a purely consultative function);
(ix) Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas atas undang-undang menurut Model Austria ini, pada umumnya, bersifat „represif‟, meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga coraknya yang bersifat preventif yang diterapkan dalam praktek.

MAHKAMAH KONSTITUSI  AMERIKA SERIKAT

Dalam perkembangan selanjutnya, kasus “Judicial Review” yang didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia, terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai „the Guardian of the Constitution‟.
Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine), ‘judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para sarjana, model AS ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized Model”.
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a posteriori review’. Sedangkan, Mahkamah Agung dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka prinsip „stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain.
Pada pokoknya, putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat ‘ex tunc’7 dengan akibat „pro praeterito’ yang menimbulkan efektif retroaktif ke belakang. Tentu sistem demikian berbeda sekali dengan yang diterapkan di Indonesia dewasa ini. Akan tetapi persoalan ini tidak akan didiskusikan disini, melainkan akan dibahas dalam buku tersendiri.
Dari segi kelembagaannya, sistem pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Austria. Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas ‘precedent’. Bahkan hukum dalam sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made law’, atau hukum buatan para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai praktek pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi ‘civil law’ di Eropah Kontinental yang dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem ‘judicial review’ atau „constitutional review’ itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).
Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia, Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania; di Timur Tengah oleh negara-negara Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong Kong (sampai 1 Juli 1997), India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet8, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan Samoa Barat; Sedangkan di Amerika Utara, selain Amerika
Serikat sendiri, Kanada juga tercatat mengadopsikan prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional review) itu dalam kewenangan Mahkamah Agung mereka.
Selain itu, sistem demikian itu juga diterapkan di kebanyakan negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara di kawasan ini cukup banyak juga yang mempraktekkan sistem pengujian konstitusional (constitutional review) seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Bahamas, Barbados, Belize, Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana, Haiti, Jamaica, Mexico, St. Christopher/Nevis, Trinidad dan Tobago. Semuanya mengikuti pola Amerika Serikat dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusional, yaitu dengan mengaitkannya sebagai kewenangan Mahkamah Agung sebagai „the Guardian of the Constitution
MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA

     Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia merupakan hal baru. Dalam pembahasan naskah UUD 1945, Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI memang benar pernah mengusulkan supaya Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang. 


Tetapi, usul ini ditolak oleh Soepomo dengan dalih, wewenang tersebut tidak sesuai dengan pola pikir dan jiwa UUD 1945 yang didesain atas prinsip “supermasi Parlemen”, di mana: selain MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dikenal juga DPR yang merumuskan undang-undang. Adalah kurang relevan apabila ada asumsi dasar, di mana Mahkamah Agung nantinya mengadakan hubungan antar lembaga yang bersifat “checks and balances.” 

      Semenjak itu, ide mengenai wewenang MA melakukan pengujian UU terhadap Konstitusi terkubur dan baru bangkit di era reformasi politik/kekuasaan yang mendesak dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama terhadap ketentuan pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan pasal 7B UUD 1945, supaya memasukkan lembaga Mahkamah Konstitusi kedalam Konstitusi. 

       Amandemen tersebut akhirnya disahkan oleh MPR pada 9/11/2001. Berangkat dari sini, pelaksanaan Mahkamah Konstitusi segera diatur dalam UU Nomor 24/2003 dan disahkan oleh Presiden dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316, pada 13/08/2003. Lembaga MK baru aktif beroperasi sejak tgl. 15/10/2003. Walaupun dalam usianya masih seumur jagung, MK menjaga jarak, bebas dari pengaruh pihak tertentu dan terus bekerja secara profesional.

        Ide pengujian undang-undang terhadap Konstitusi ini sebenarnya, sejak 200 tahun yang lalu sudah dirintis, yakni: pada saat John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat buat pertama sekali melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Maka bermulalah reformasi hukum di Amerika, yang dikenal sebagai negara yang mengamalkan tradisi “common law” menerapkan dengan “decentralize model”. Artinya, semua lembaga peradilan di tingkat negara bagian dan Mahkamah Agung Federal, masing-masing dapat melakukan pengujian konstitusionalitas di Amerika. 

        Pada gilirannya, tafsiran John Marshall yang mengagumkan ini, dikembangkan oleh Hans Kelsen, seorang pakar hukum Austria yang menggagasi dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Austria. Saat dia dipercayakan sebagai salah seorang yang duduk dalam Lembaga Reformasi Hukum Austria, saran-sarannya diterima dan Austria mengadopsi ide ini kedalam Konstitusi Austria tahun 1919 dan dinobatkan sebagai peradilan tata negara pertama di dunia. 

        Penerapan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) di Austria berbeda dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung di USA. Seperti diketahui bahwa Austria, adalah negara yang mengamalkan tradisi “civil law” yang memakai “centralize model”; di mana fungsi pengujian tersebut dipisahkan dan dipusatkan secara tersendiri dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu di Perancis, upaya pengujian undang-undang terhadap konstitusi ini disebut “judicial preview”, oleh karena dalam tubuh Dewan Konstitusi Perancis sudah lama mengakar pandangan bahwa undang-undang adalah bersifat suci dan tidak dapat diganggu gugat. 

        Dewan ini dianggap “keramat”, apalagi dipercayai bahwa undang-undang adalah perwujudan dari keinginan dan pendapat masyarakat; sehingga hanya terhadap rancangan undang-undang (RUU) saja boleh dilakukan pengujian; tidak untuk Undang-undang yang punya kekuatan dan kepastian hukum. Jadi, model yang diamalkan di Perancis bukan “judicial review” (menguji validitas suatu undang-undang yang sah). Kendati pun kritik tajam terus-menerus muncul dari kalangan pakar hukum, karena cara kerja Dewan terkadang mirip seperti mafia yang memakai hukum untuk melegitimasi semua jenis kebijakan dalam politik/kekuasaan. Namun, sampai dewasa ini yang dijalankan masih tetap “judicial preview”, bukan “judicial review”. 

       Soal Mahkamah Konstitusi di Indonesia lebih tepat disebut model “judicial review”, sebab dalam Konstitusi antara lain menyebut: “Mahkamah Konstitusi punya wewenang untuk: menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Dalam konteks inilah muncul kasus yang mempersoalkan pasal 256 UUPA bahwa: “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan.” Setelah diajukan “judicial review” ke atas ketentuan pasal ini, maka atas pertimbangan pengawalan demokrasi dan pelindungan HAM; Mahkamah Konstitusi dalam putusannya: selain meluluskan permohonan “judicial review”, sekaligus me-mansukh-kan pasal 256 UUPA, sebab dinilai berseberangan prinsip demokrasi, jiwa dan semangat UUD 1945.


Hukum acara Mahkamah Konstitusi


ASAS dan SUMBER HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
a.       Beberapa Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, yang meliputi sebagai berikut:

1.       Persidangan Terbuka untuk Umum

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 13 menentukan bahwa persidangan terbuka untuk umum kecuali Undang-undang menentukan yang lain. Hali ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan.
Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Mahkah Konstitusi menentukan secara khusus bahwa siding Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Keterbukaan ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas hakim. Transparasi dan akses public secara luas dilakukan Mahkamah Konstitusi dengan membuka, bukan hanya siding tetapi juga proses persidangan yang dapat di lihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara, dan putusan yang dipublikasikan lewet situs internet. Hal ini merupakan langka jauh yang diambil untuk mengefektifkan control terhadap Mahkamah Konstitusi.

2.       Independen dan Imparasial

Pasal 2 undang-undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, pasal 3 undang-undang kekuasaan kehakimaan menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen atau mandiri tiodak dapat diharapkan bersikap nertal atau imparasial dalm menjalankan tugasnya. Demikan juga bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dari doktrin separation of powers yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan Negara tidak saling mempengaruhi.

3.       Peradilan dilaksanakan sacara Cepat, Sederhana dan Murah

Pasal 4 ayat (2) Undang-udang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasaan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efesian dan efektif, sedangankan biaya murah adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Keduanya tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

4.       Hak untuk didengar secara seimbang

Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan biasa, baik penggutan maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing. Dalam nuasa yang sedikit perbeda, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR maupun pihakl yang berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama untuk didengar.

5.       Hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan

Pernyataan ini sesungguhnya dapat dilihat paradoksal, karena sikap pasif sekaligus aktif harus dianut hakim. Akan tetapi, adanya karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan melulu pada inisiatif pihak-pihak. Mekanisme constituonal control harus digerakan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersekap pasif dan tidak boleh secara akaif melakukan inisiatif untuk menggerakakan mekanime Mahakamah Konstitusi memeriksa perkara tanpa diajukan didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menguntungkan proses hanya maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohonan tersebut.

6.       Ius curia novit

Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “ pengadilan dilarang menolak memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain, pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena berpendapat bahwa hukumnya tidak jelas.

b.      Sumber-sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi, yaitu;
1.       Undang-undang Mahkamah Konstitusi
2.       Peraturan Mahkamah Konstitusi
3.       Yurispundensi Mahkamh Konstitusi RI
4.       Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum acara Pidana Indonesia.
5.       Pendapat Sarjana (doktrin)
6.       Hukum acara dan yurispundesi Mahkamah Konstitusi Negara lain.
Sumber-sumber hukum acara yang disebutkan dalam angka 4,5,dan 6 merupakn sumber tidak langsung yang sebaiknya diambil alih melalui peraturan Mahkamah Konstitusi karena kebutuhan praktik yang timbul disebabkan kekosongan dalam pengaturan dalam pengaturan hukum acara.

PERMOHONAN

1.       Syarat da nisi permihonan

Undang-undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, semuanya mengajukan dengan permohonan tertulis dan syarat-syarat yang diuraikan dalam pasal 31 sbb:
a.       Memuat nama dan alamat permohonan
b.      Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan
c.       Hal-hal yang diminta untuk diputuskan
Permohonan tersebut harus dengan melampirkan bukti-bukti sebagai pendukung yang menunjukkan pemohon bersungguh-sungguh. Bukti-bukti tersebut tentu saja merupakan bukti awal yang dapat diajukan pemohon karena selama persidangan berlangsung pemohon masih tetap dapat mengajukan bukti-bukti yang dianggap pentung untuk mendukung permohonananya. Dengan kata lain, permohonan pemohon harus membuat indentitas pihak-pihak, posita dan petitum.
Dalam pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan antara lembaga Negara harus juga dikemukakan hak dan kewenangan konstitusianalnya. Akan tetapi, Undang-undang Mahkamah Konstitusi tidak mengharuskan disebutnya “termohon”. Meskipun tidak haruskan untuk menyebutkan identitas termohon namun khusus dalam perkara sengketa kewenangan antarlembaga Negara perselisihan hasil pemilihan umum, dan pembubaran partai politik, dari posita atau duduk perkaranya maupun keputusan yang diminta dengan sendirinya akan menjelaskan identitas pihak termohon tersebut.
Dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang Dasar, pihak pembuat undang-undang, yaitu DPR maupun pemerintah yang membuat undang-undang atas dasar hak inisiatifnya, tentu dengan sendirinya akan dipanggil untuk memberi keterangan meskipun mungkin berada dalam posisi yang tidak membela undang-undang tersebut dalam kenyataannya. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR selalu akan diminta untuk hadir memberi keterangan baik secara lisan maupun tertulis.

2.       Pendaftran permohonan

Setiap yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi telah dahulu harus melalui pemeriksaan  akan kelengkapan permohonan. Pemerikasaan ini dilakukan oleh panitera Mahkamah Konstitusi yang bersifatnya merupakan pemeriksaan administrative. Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan baik jumlah rangkap maupun syarat-syarat lain dalam hal suarat kuasa dari pemohon kepada kuasanya serta syarat-syarat formil identitas dan uraian yang menajdi dasar permohonan maupun alat bukti awal untuk diperbaiki dan dilengkapi.

PERSIDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A.      Pemerikasaan Pendahuluan

1.       Tujuan pemeriksaan pendahuluan

Pemerikasaan pendahuluan adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan hakim dan dihidari pemohon untuk mempersiapkanm permohonan tersebut secara lengkap sebelum ndiadakan persidangan, baik untuk mendengar keterangan dari pemerintah , DPR, maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien dan lancer. Sifat pemeriksaan pendahuluan adalah infomatif, dalam arti pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan memperoleh informasi, sehingga masalah yang diajukan dapat dipahami secara baik dan benar oleh hakim maupun oleh pemohon sendiri.
Dalam menghindari kompleksitas dan kesulitan maka harus dielakan adanya hal-hal yang sifatnya mendadak di mana pihak-pihak tidak mempersiapkan sebelumnya karena adanya unsur pihak-pihak dan diajukan ketika proses sedang berjalan. Hal itu dapat berupa jumlah saksi maupun ahli yang tidak memperhitunkan factor waktu di mana diajukan saksi atau ahli sekaligus secara banyak dan serentak.

2.       Laporan panel pada pleno

Setelah semua permasalahan yang diuraikan di atas telah dapat ditata, maka perbaikan permohonan yang disarankan hakim atau yang diinginkan pemohon serta kelengkapan bukti-bukti lain telah dapat diajukan tanpa harus menunggu jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari. Perbaikan yang telah dilakukan hendaknya diajukan bersama hal yang diminta sidang pendahuluan pertama, baik kelengkapan permohonan berupa bukti, daftar saksi dan ahli, pokok pernyataan saksi dan ahli dan hal-hal lain yang telah dinyatakan sebelumnya.
Semua hal ini akan dipastikan dalam sidang pendahuluan yang diadakan khusus untuk ini sebelum panel melaporkan bahwa sidang memeriksaan perkara yang menghadirkan pemerintah, DPR atau pihak terkait. Laporan panel akan sertai pendapat atau rekomendasi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan dari segi kewenangan maupun legal standing telah memenuhi syarat dan cukup layak untuk didengar di depan sidang pleno dengan menghadirkan pemerintah, DPR atau pihak terkait.

B.      PEMERIKASAAN PERSIDANGAN

1.       Kehadiran kuasa

Pasal 43 Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau bdiwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus. Akan tetapi, khusus untuk permohonan pengujian undang-undang karena sifatnya yang lebih banyak mendengarkan keterangan pemerintah maupun DPR dan atau DPD tentang riwayat proses pembentukan Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, maka pendapat yang mengemuka dari hakim-hakim Mahkamah Konstitusi adalah bahwa tidak tepat untuk pemerintah maupun DPR dan atau DPD memberi kuasa kepada pihak lain dalam hal ini pengecara yang professional tidak mengetahui proses pemebentukan undang-undang yang bersangkutan.

2.       Jalannya persidangan

Sidang dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan secara pleno oleh undang-undang diharuskan kehadiran 9 hakim Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi,karena alas an yang luar biasa, sidang dapat dilaksanankan dengan 7 orang hakim konstitusi. Keadaan luar biasa tersebut tidak diatur lebih jauh dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi, tetapi praktek Mahkamah Konstitusi menunjukan 3 hal yang dipandang sebagai keadaan luar biasa penyebab pleno sidang Mahkamah Konstitusi dapat dilaksanakan 7 orang hakim saja. Anatara laian adanya (1) anggota keluargha yang meninggal, (2) hakim sedang dalam keadaan sakit dan (3) adanya tugas Negara yang tidak dapat dihindarkan.


PEMBUKTIAN

                Tujuan pembuktian dalam Hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah untuk memberikan kepastian akan kebenaran secara materil adanya fakta peristiwa dan hukum sebagaiaman didalilkan pemohon, kebenaran materil demikian pun tetap tidak dapat dikatakan mutlak. Yang diperoleh memang masih kebenaran yang ada dalam kemungkinan paling besar karena saling kenyakinan hakin tetap subjektif.
                Dalam pasal 24c UUD 1945 maupun pasal 10 Undang-undang Mahkamh Konstitusi, terdapat 6 dalil yang dapat diajukan dan harus dibuktikan seorang pemohon. Masing-masing dalil tersebut sebagai berikut.
1.       Pembentukan undang-undang tidak memenuhi kewenagan lembaga diharuskan oleh UUD 1945, baik dilihat dari kewenagan lembaga maupun segala prosedur pembentukannya.
2.       Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.
3.       Kewenagan lembaga Negara yang diberikan UUD 1945, baik sebagian atau seluruhanya tumpang tindih atau diambil alih oleh lembaga Negara lain atau ditiadakan oleh lembaga negara leinb secara bertentang dengan UUD 1945.
4.       Hasil perhitungan suara dalam pemilu yang dilakukan KPU telah dilakukan secara salah sehingga mempengruhi terpilihnya seorang pemohon sebagai anggota DPR,DPD,DPRD,Presiden/wakil presiden dan perhitungan yang benar adalah sebagaimana dibuktikan pemohon.
5.       Partai politik tertentu melakukan atau mengubah ideology, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.
6.       Presideng/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.

Alat bukti yang disebut dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah Sebagai Berikut;
a.       Surat atau lisan
b.      Keterang saksi
c.       keterangan ahli
d.      Keterang para pihak
e.      Petunjuk
f.        Alat bukti berupa informasi yang diucapakan, dikirimkan , diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat opik atau yang serupa dengan itu.

ATURAN-ATURAN YANG KHUSUS

Permohonan yang memuat uraian yang jelas dalam bahasa Indonesia disampaikan sebanyak 12 rangkap. Permohonan memuat bagian (1) identitas pemohon, (2) uraian tentang duduk perkara atau dasar permohonan,(3) pengujian yang diminta formal atau materil dan (4) poko tuntuan yang diminta. Permohonan yang disahkan setelah dibubuhi materai secukupnya.
Pasal 28 ayat (4) Undang-Udnag Mahkamah Konstitusi memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 orang hakim konstitusi yang bertugas-tugasnya ditentukan oleh pleno itu sendiri. Tugas panel adalah
a.       Melaksankan pemerikasaan pendahuluan
b.      Memeriksa alat-alat bukti
c.       Memeriksa saksi dan ahli yang secara khusus ditugaskan pleno untuk melaksanakan oleh panel
d.      Memberi laporan hasil pemeriksaan pendahuluan, yang menyatakan kesiapan untuk pemerinksaan pleno
e.      Memberikan rekomendasi langka yang akan dilakukan pleno atas perkara permohonan yang bersangkutan
Dalam pemerikasaan pendahuluan panel hakim akan melakukan hal-hal berikut ini
a.       Memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenagan, legal standing dan pokok permohonan.
b.      Memberikan nasihat kepada pemohon dan kuasanya untuk melengkapi atau memperbaiki permohonan dalam tempo 14 hari
c.       Mencocokan alat-alat bukti yang diajukan dan menanyakan perolehan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan
d.      Menunda dan melanjutkan pemeriksaan pendahuluan untuk memriksa perbaikan permohonan dan kelengkapannya.


PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Jenis putusan Mahkmah KOnstitusi yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaration,constitutief dan condemnatoir.suatu putusan dikatakan comdemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakkukan suatu prestasi. Hal itu timbul karena adanya perikatan yang didasarkan pada perjanjian atau undang-undang. Akabat dari adannya putusan condemnatoir ialah diberikanya hak kepada penggugat/ pemohon untuk meminta tindankan eksekutorial terhadap tergugat.
Perkara di Mahkamah Konstitusi yang dapat dipandang akan memberi kemungkinan putusan yang bersifat condemnatoir yang memberi hukuman pada pihak termohon untuk melakukan atau melakukan satu perbuatan adalah sengketa anatrlembaga Negara.
Putusan declaratoir adalah putusan di mana hakim manyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Hakim dalm hal ini menyatakan tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Menyatakan satu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu mencptakan satu keadaan hukum yang baru.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian, diumumkan dalam berita nagara dalam diucapkan. Tidak dibutuhkan adanya satu aparatur khusus untuk melaksanakan putusan tersubut, karena sifatnya hanya declaratior.
Yang menjadi persoalan hukum sejarang jikalau undang-undang yang akan diberlakukan harus lebih dahulu diumumkan dan dimuat dalm lembaran Negara mengapa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-udang tersebut melalui hanya di umumkan dalam berita Negara, sehingga akabat hukum putusan yang sederajat dengan undang-undang yang dibatalkan teoritis merupakan masalah hukum yang serius