BAB 1.
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
A.
PENANTAR
Hokum pidana adalah hokum yang mengatur
tentang pelanggaran atau perbuatan terlarang yang di ancam dengan hukuman
berupa sanksi atau siksaan yang di atur dalam uu.
B.
PENGARTIAN NORMA, NILAI DAN SANKSI
Norma atau kaidah adalah anggapan-anggapan
yang sedikit atau banyak mengikatperbuatan seseorang dalam masyarakat atau
suatu kelompok dalam masyarakat. Norma dan kaidah mengandung apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan atau apa yang di harapkan (yang patut)
atau tidak di harapkan (tidak patut).tujuan dibuatnya norma adalah masyarakat
atau kelompok masyarakat adalah agar di patuhi perintahnya atau di jauhi
laranganya. Kemudian agar norma itu dapat di patuhi, maka dalam sebuah norma
terdapat pula sebua SANKSI atau PENGUAT. Sanksi di bedakan menjadi sanksi
formil dan sanksi nonformil, sanksi formil adalah yang di rumuskan dan di
tetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Di dalam masyarakat di kenal
banyak norma sepertinorma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma keagamaan.
C.
ADRESSAT DARI NORMA HUKUM
Yang menjadi sasaran dari norma hokum
adalah arga masyarakat. Dalam pada itu norma hokum yang berbentuk peraturan
hokum itu juga menjadi pedoman bagi alat perlengkapan masyarakat (Negara) dalam
hal melaksanakan aturan-aturan itu.
D.
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Menurut pompe (1953: 1) hukum pidana adalah
semua aturan-aturan hokum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatanapa yang
seharusnya di jatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.
Simons (1921: 1), memberikan hokum pidana
sebagai:
1.
Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh
Negara di ancam dengan nestapa, yaitu suatu pidana apabila tidak di taati;
2.
Keseluruhan peraturan yang menetapkan
syarat-syarat untuk penjatuhan pidana;
3.
Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar
untuk penjatuhan dan penerapan pidana
Menurut Moeljatno (1987: 1), hokum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hokum yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
1.
Menentukan berbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
di lakukan;
2.
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan dan dapat di
jatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat di laksanakan apabila
ada orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut..
Menurut Mazger (dalam sudarto:
1990): hokum pidana adalah aturan hokum, yang mengikatkan kepada suatu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Aturan hokum mengatur tentang:
1.
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu;
2.
Pidana.
Pidana adalah siksaan yang sengaja di bebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat terentu itu.
Pasal 10 KUHP: Pidana terdiri atas:
1.
Pidana pokok:
a.
Pidana mati
b.
Pidana penjara
c.
Kurungan denda
d.
Pidana tutupan (ditambahkan kedalam KUHP dengan
UU NO. 20 tahun 1946)
2.
Pidana tambahan:
a.
Pencabutan hak-hak tertentu.
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim.
Stelsel pidana konsep KUHP diatur dalam pasal 62 sebagai
berikut:
1.
Pidana pokok terdiri atas
a.
Pidana penjara;
b.
Pidana tutupan
c.
Pidana pengawasan;
d.
Pidana denda;
e.
Pidana kerja social
2.
Untuk pidana seprti yang dimaksud pada ayat (1)
menentukan berat ringanya pidana.
Pasal 63.
Pasal 64
Pasal 65
E.
JENIS-JENIS
HUKUM PIDANA
1.
Hokum pidana materil
a.
Aturan-aturan yang menetapkan dan merumusklan
perbuatan-perbuatan yang dapat di pidana;
b.
Aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk
dapat menjatuhkan pidana;
c.
Ketentuan mengenaoi pidana
2.
Hokum pidana formil adalah hokum pidana yang
mengatur kewenangan Negara (melalui aparat penegak hokum) melaksanakan haknya
untuk menjatuhkan pidana.
Selain itu jenis hokum pidana dapat
pula di bagi menjadi:
1.
Hokum pidana umum (algemene strafrecht) memuat
aturan-aturan hokum pidana yang berlaku pada setiap orang (KUHP ULLAJ)
2.
Hokum pidana khusus (hijzondere strufrecht)
memuat aturan-aturan pidana yang menyimpang dari hokum pidana umum yang
menyangkut:
a.
Golongan atau orang tertentu, misalnya;;
golongan militer di atur dalam KUHPMM
b.
Berkaitan
dengan jenis-jenis tertentiu.
c.
F.
BAGIAN UMUM DAN BAGIAN KHUSUS DALAM HUKUM PIDANA
1.
Bagian umum
Berisi ketentuan-ketentuan ukum pidana yang berlaku untuk seluruh
lapangan pidana, baik yang terdapat dalam KUHP maupun yang di luar KUHP, kecuali di tentukan lain.
2.
Bagian khusus
Di isi perbuatan-perbuataan yang dapat di pidana dan ancaman pidananya.
Bagian husus ini di atur dalam buku II dan III. Buku II mengatur tentang kejahatan (pasal 104-488), sedangkkan buku
III mengatur tentang pelanggaran (pasal 489-569)
G.
ILMU HUKUM PIDANA DAN KRONOLOGI
Ilmu hokum pidana berfungsi member
keterangan hokum pidana yang berlaku. Tujuan mempelajari ilmu hokum pidana
adalah agar aparat penegak hokum dapat meneraokan aturan-aturan hokum pidana
tersebut secara benar dan adil. Ilmu hokum pidana harus memenuhi;
1.
Menganalisa dn menyusun secara sisitematis
aturan-aturan tersebut.
2.
Mencari azas-azas yang menjadi dasar dari
peraturan-peraturan UU pidana.
3.
Member penilain terhadap azas-azas itu sendiri
apakah azas-azas itu sudah dengan nilai dari Negara atau bangsa yang
bersangkutan dan selanjutnya juga.
4.
Menilai apakah peraturan-paraturan pidana yang
berlaku sejalan dengan azas-azas tadi (sudarto, 1990: 14)
Objek dari kriminologi adalah
kejahatan sebagai gejala masyarakat (social phaenomeen) yang terjadi secara
konkrit dalam masyarakat dan orang-orang yang melakukan kejahatan.
Kriminologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang kejahatan sebagai:
1.
Gejala masyarakat
2.
Sebab-sebab kejahatan
3.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan
H.
SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA
Sumber utama hokum pidana adalah hokum
pidana yang tartulis. Secara yuridis hokum adat di akui berlaku di Indonesia
berdasarkan UU NO .1?Drt?1951 pasal 5 ayat (3).
Induk hokum pidana positif (ius
constitutum) adalah KUHP. Nama aslinya wetboek van strafrecht voor nederlandsch
indie (WvSNI). KUHP berlaku di Indonesia
berdasrkan UU NO. 1 tahun 1946 tentang perubahan KUHP./ kemudian perubahan
terbaru UU NO. 27 tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap keamanan Negara.
Pada era reformasi peradilan adat berusaha di
hidupkan kembali berdasarkan ketentuan yang di atur dalam pasal 101 UU NO. 22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah.
BAB 11.
TEORI-TEORI TENTANG TUJUAN HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN
A.
FUNGSI HUKUM PIDANA
1.
Fungsi umum hokum pidana adalah untuk mengatur
hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata kehidan bermasyarakat.
2.
Fungsi khusus hokum pidana adalah untuk
melindungi kepentingan hokum dari perbuatan yang hendak memperkosanya, dengan
sanksi pidana yang sifatnya lebih tajam dari sanksi cabang hokum lain.
Fungsi khusus hokum pidana dapat di
bagi menjadi 3;
1.
Funsi primer, yaitu; sebagai sarana dalam
penanggulangan kejahatan atau sarana untuk mengontrol atau mengendalikan
masyarakat;
2.
Fungsi sekunder , yaitu; untuk menjaga agar
penguasa dalam menanggulangi kejahatan itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan
aturan yang di gariskan dalam hokum pidana
3.
3fungsi skunder, yaitu; usaha melindungi
masyarakat dari kejahatan hendaknya menggunakan upaya-upaya lain terlebih
dahulu.
B.
TEORI TENTANG TUJUAN HUKUM PIDANA
Didalam mempelajari tujuan hokum pidana terdapat 3 aliran yang
berusaha menjelaskan , berdasarkan alam pikiran masing-masing aliran pada waktu
itu di ajarkan yaitu;
1.
Aliran klasik (classieke school)
2.
Aliran modern (modern school)
3.
Aliran neoklasik ( neoclasieke school)
C.
TEORI-TEORI TENTANG TUJUAN PEMINDANAAN
1.
Teori absolute
Menurut teori ini, di jatuhkan pidana pda orang yang melakukan kejahtan
adalahsebagai konsekuensi logis dari dilakukanya kejahatan.
2.
Teori relative
Menurut teori ini tujuan dari pemindanaan terletak pada tujuan pidana itu
sendiri. Maka teori tujuan ini mempunyai beberapa teori diantaranya;
a.
Teori prevensi umum (general preventive)
b.
Teori prevensi khusus (special preventive)
3.
Toeri gabungan
Dasar hokum pada teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa hokum
pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan
perlindungan masyarakat.
4.
Teori intregative
Teori ini diperkenalkan oleh Prof. Dr.
Muladi, guru besar dari fakultas hokum universitas diponegoro.
BAB 111.
AZAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A.
AZAS BERLAKUNYA UU PIDANA MENURUT WAKTU
Azas ini di kenal dengan azas legalitas.
Dalam KUHP azas legalitas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) . azas legalitas
dalam konsep KUHP 2004 juga diatur secara tegas. Pasal 1 ayat (1).
1.
Suatu tindak pidana harus di rumuskan terlebih
dahulu kedalam uu pidana
2.
Tidak boleh menggunakan analogi di dalam
menerapkan uu pidana
Analogi
artinya suatu peraturan hokum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang di
atur, akan tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian lain yang
terang tidak di sebut dalam peraturan itu tetapi ada banyak persamaanya dengan
kajadian yang di sebut tadi.
PENGARTIAN INTERPRETASI
Cara penafsiran tidak boleh sembarangan, tetapi harus
sistematis sesuai aturan-aturan yang di tentukan dalam hokum pidana, seperti;
1.
Melakukan penafsiran secara otentik
2.
Penafsiran menurut penjelasan uu,
3.
Penafsiran menurut yurisprudensi,
4.
Penafsiran menurut doktrin.
Menurut tatabahasa (gramatikal) memberikan arti kepada suatu
istilah atau perkataan sesuai dengan tatabahasa.
Secara sistematis, jika satu istilah di cantumkan ke dalam 2
pasal, maka pengertianya juga harus sama.
Penafsiran history, mempelajari sejarah yang berkaitan
dengan pembukaan uu ybs, agar dapat di temukan pengertian dan suatu istilah
yang di maksut.
Penafsiran teleologis, mencari tujuan atau maksut dari suatu
peraturan atau uu di buat.
Penafsiran ekstensif (memperluas), memperluas suatu
pengertian dari suatu istilah, berbeda dengan pengertian yang di gunakan sehari-hari.
AZAS BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA MENURUT TEMPAT
Mengenai ruang lingkup berlakunya
peraturan-peraturan pidana menurut tempat dapat di sebut beberapa azas;
1.
Azas teroterial,
Azas ini terdapat dalam pasai 2,3,95 KUHP.
Dalam azas ini berarti, perbuatan tindak pidana yang terjadi atau di
lakukan di Indonesia, yang menggunakan berbagai kendaraan Indonesia, dan yang
bertujuan untuk Indonesia.
2.
Azas personalitas (nasional aktif)
Azas ini mmengatakan bahwa peraturan hokum pidana berlaku begi setiap
warga Negara Indonesia, yang melakukan tindak pidana, baik di dalam negri
maupun di luar negri.
Mengenai orang yang melakukan tindak pidana di atur dalam pasal 5 KUHP.
Golongasn yang kedua itu sifatnya lebih umum, dan ini di atur dalam pasal 5
ayat (2) KUHP
3.
Azas perlindungan (azas nasional pasif)
Azas ini membuat prinsip bahwa aturan hokum pidana Indonesia berlaku
terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukun Negara Indonesia, baik
itu di lakukan warga Negara Indonesia atau bukan, yang di lakukan di luar
Indonesia. Ketentuan itu di atur dalam pasal 4 KUHP
4.
Azas universal,
Azas universal yaitu peraturan-peraturan hokum pidana Indonesia berlaku
terhadap tindak pidana baik itu di lakukan dalam negri atau di luar negri. Dan
juga di lakukan oleh warga Negara sendiri atau warga Negara asing. Ini di atur
dalam pasal 4 ke 2 KUHP.
B.
TEMPAT TERJADINYA TINDAK PIDANA (LOCUS DELICTI)
Untuk teori menetapkan locus delicti ada 3
teori;
1.
Teori perbuatan materiil,
Tempat tindak pidana di tentukan oleh jasmaninya yang di lakukan oleh si
pembuatdalam mewujudkan tindak pidana itu
2.
Teori instrument
Dalam hal ini tempat terjadinya delik ialah tempat bekarjanya alat yang
di pakai si pembuat.
3.
Teori akibat,
Dalam teori ini yang menjadi ukuran untuk locus delicti ialah tempat
akibat terjadinya di dalam delik itu.
BAB IV
TINDAK PIDANA
A.
ISTILAH TINDAK PIDANA
Beberapa istilah tindak pidana yang di kenal;
1.
Delik (delic)
2.
Peristiwa pidana (e. Utrecht)
3.
Perbuatan pidana (moeljatno)
4.
Perbuatan-perbuatan yang dapat di hokum
5.
Hal yang di ancam dengan hokum
6.
Perbuatan-perbuatan yang di ancam dengan hokum
7.
Tindak pidana (sudarto dan di ikikuti
pembentukan uu sampai sekarang)
B.
PENGARTIAN DAN UNSUR0UNSUR TINAK PIDANA
1.
Pengertian tindak pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hokum pidana (yuridis
normative). Yuridis normative adalah perbuatan seperti yang terwuujud
in-abstracto dalam peraturan pidana.
Menurut para ahli;
a.
Pompe
Definisi menurut toeri adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang di
lakukan karena kesalahan pelanggar dan di ancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hokum dan menyelamatkan kesejahteraan masyarakat.
Definisi menurut hokum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan
uu di rumuskan sebagai perbuatan yang dapat di hokum (dalam bambang poernomo,
1981: 86).
b.
Ssimens
Tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang di ancam oleh pidana yang
bersifat melawan hokum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang di lakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab. (dalam moeljatno, 1987: 56).
c.
Vos
Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang di ancam pidana oleh peraturan uu, jadi
suatu kelakuan yang di umumnya dilarang dan di ancam oleh pidana (dalam bambang
poernomo, 1981: 86).
d.
Van hamel
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang di rumuskan dalam wet, yang
bersifat melawan hokum, yang patut di pidana dan di lakukan dengan kesalahan
(moeljatno, 1987: 56).
e.
Moeljatno
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hokum,
larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut
f.
Wirjono pujodikoro
Tidak pidana adalah suatu tindakan yang pelakunya dapat di pidana.
Berdasarkan pengertian tindak pidana yang di kemukakan oleh para pkar
hokum dapat di lihat bahwa pada tataran teoristis tidak ada kesatuan pendapat.m
mwnurut para ahli terdapat 2 pandangan yang saling bertolak belakang, yaitu
1.
Aliran monistis, yaitu pandangan yang tidak
memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertanggung jawaban
pidana.
2.
Aliran dualistis, yaitu alirang yang memisahkan
antara di larangnya suatu perbuatan pidana dan dapat di pertanggungjawabkan si
embuat.
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Unsure-unsurnya,
a.
Perbuatan manusia
b.
Ancaman dengan pidana
c.
Melawan hokum
d.
Dilakukan dengan kesalahan
e.
Orang yang mampu bertanggung jawab.
C.
RUMUSAN TINDAK PIDANA
Dalam setiap perundang-undangan hokum pidana selalu di sertakan perumusan
norma hokum dan sanksi. Terdapat 3 perumusan norma, yaitu
1.
Di sebutkan satu persatu unsure-unsur perbuatan,
2.
Tidak di uraikan, tetapi di sebutkan kualifikasi
delik,
3.
Penggabungan csrs pertama dan kedua.
Sedangkan penempatan norma dan
sanksi terdapat 3 cara, yaitu:
1.
Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu
pasal,
2.
Penempatan terpisah, artinya penempatan norma
dan sanksi berada di pasal atau ayat yang terpisah,
3.
Sanksi pidana telah di cantumkan terlabih
dahulu.
D.
JENIS0JENIS TINDAKAN PIDANA
1.
Kejahatan dan pelanggaran,
Terdapat dua pendapat mengenai pembedaan kejahatan dan pelanggaran,
yaitu;
-
Perbedaan secar kualitatif
a.
Kejahatan adalah rechtsdelic, artinya perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan
b.
Pelanggaran adalah wetsdelic, perbuatan yang di
sadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena uu menyebutnya
sebagai delik.
-
Perbedaan secara kuantitatif,
Perbedaan ini di dasarkan pada aspek kriminologis. Yaitu pelanggaran
lebih rigan dari kejahatan.
2.
Delik formil dan delik materiil
Delik farmil adalah delik yang perumusanya di tyitik beratkan kepada
perbuatan yang di larang oleh uu.
3.
Delik commisionis dan delik koomissionos per
omissionis omissa,
Delik comissionis adalah delik berupa pelanggaran terhadan larangan.
Delik omissionis adalah delik berupa langgaran terhadap perintah, yaitu
tidak melakukan sesuatu yang tidak di perintahkan.
Delik comissionis per omissionis omissa adalah delik yang berupa
pelanggaran larangan, tetapi dapat di lakukan dengan cara tidak berbuat.
4.
Delik dolus (pasal 187,197 dan delik culpa
(kealpaan) pasal 195 dan 359).
5.
Delik tunggal (dilakukan satu kali) dan delik
gaNDA 9DI LAKUKAN BEBERAPA KALI
6.
Delik yang terjadi terus,
7.
Delik aduan,
Delik aduan di bedakan;
-
Delik aduan absolute adalah delik yang hanya
dapat di tuntut atas dasar pengaduan,
-
Delik aduan relative adalah delik yang merupakan
delik biasa, tetapi ada hubungan-hubungan istimewa antara pembuat dan korban,
lalu menjadi delik aduan,
8.
Delik seerhana dan delik yang ada pemberatan.
9.
Delik ekonomi dan bukan dlik ekonomi,
10.
Kejahatan ringan (pasal 364,373, 375, dll)
E.
SUBJEK TINDAK PIDANA
Subjek tindak pidana berupa
manusia, badan hokum, perkumpulan.
BAB V
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
A.
TEORI-TEORI KAUSALITAS
Dalam mencari sebab akibat suatu tindak pidana ada beberapa teori yang
terkenal yaitu;
1.
Teori condition sine qua non (teori ekuivalensi)
artinya, syarat-syarat tanpa mana tidak
2.
Teori individualisasi, inti dari teori ini
adalah dari semua peristiwa yang terjadi, hanya di cari satu peristiwa saja,
yang di anggap suatu sebab dari akibat itu.
3.
Teori generalisasi (teory adequant) teori ini mendasarkan
penelitianya pada fakta sebelum tindak pidana terjadi.
4.
Teori adequant yang subjektif,
5.
Teori adequant yang objektif di perkenalkan oleh
Rumelin.
B.
AJARAN KAUSALITAS DALAM PRAKTEK PERADILAN
Pengadilan
tidak mempedomani ajaran kausalitas yang ad secara khusus.
BAB VI
SYARAT PEMINDANAAN
Syarat-syarat pemindanaan sebagai berikut
SYARAT PEMIDANAAN
pBAB
VII
PERBUATAN/ TINDAK PIDANA
A.
PENGERTIAN PERBUATAN
Perbuatan manusia yang bersifatpositif maupun negative itu di katakana
sebagai tindsk pidana harus memenuhi unsur0unsur berikut;
1.
Perbuatan itu harus memenuhi rumusan uu
2.
Perbuatan itu harus bersifat melawan hokum
B.
PENGERTIAN SIFAT MELAWAN HUKUM
Suatu perbuatan itu di katakana melawan hokum, apabila perbuatan itu
masuk ke dalam rumusan delik sebagaimana telah di rumuskan dalam uu.
Maka sifat melawan hukumnya perbuatan dapat di bedakan menjadi dua yaitu;
1.
Sifat melawan hokum yang formil,
SMH formil meliputi dua hal, yaitu
a.
Perbuatan itu melawan hokum, apabila di ancam
pidana oleh uu
b.
Perbuatan yang di ancam pidana itu bias tidak di
pidana apabila di tentukan oleh uu.
2.
Sifat melawan hokum materil, adalah suatu
perbuatan itu melawan hokum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam uu
saja, tetapi juga harus melihat berlakunya asas-asas hokum yang tidak tertulis.
Menurut asas SMH materil;a.
a.
Perbuatan itu bersifat melawan hokum baik
berdasarkan uu maupun yang tidak tertulis.
b.
Perbuatan melanggar hokum nyata-nyata sifat
yang masuk dalam rumusan delik, dapat
hapus berdasarkan ketentuan uu maupun ketentuan hokum yang tidak tertulis.
Pengartian sifat yang melawan
hokum yang materil.
Dalam praktik, ternyata diterima
sifat melawan hokum materil dalam yurisprudensi menimbulkan persoalan dalam
penerapanya, karena dalam SMH MATERIL membawa konsekuensi dua hal,
1.
Sifat melawan hokum dapat di hapuskan karena
ketentuan uu maupun hokum tidak tertulis
2.
Begitu juga dengan perbuatan/tindak pidana.
Tindak pidana itu dapat terjadi berdasarkan ketentuan uu maupun berdasarkan
hokum tertulis.
a.
SMH MATERIL dalam fungsinya yang positif
Ajaran yang menganggap suatu perbuatan tetap sebagai tindak pidana,
meskipun tidak nyata-nyata di ancam pidana dalam uu, apabila bertentangan
dengan hokum tidak tetulis (hokum kebiasaan),
b.
SMH MATERIL dalam fungsi negative
Ajaran
ini mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang di luar uu (hokum tidak tertulis)
yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan
delik.
BAB VIII
ORANG ATAU PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A.
PENGERTIAN KESALAHAN
Dalam hokum pidana di kenal dengan asas
kesalahan, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf gonder schuld).
Daad-daderstrafrecht, yaitu hokum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun
orangnya. Konsep KUHP 2004 merupakan asas kesalahan ini ecara tertulis dalam
pasal 35 sebagai berikut;
1.
Tidak seorangpun dapat di pidana tanpa kesalahan
2.
Bagi tindak pidana tertentu, uu dapat menentukan
bahwa seorang dapat di pidana semata-mata karena telah di penuhinya
unsure-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
3.
Dalam hal tertentu, setiap orang dapat di
pertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jiuka di tentukan dalam
suatu uu.
Pertanggungjawaban dalam ayat 3
pasal (35) konsep KUHP di kenal dengan vicarious liability atau
pertanggungjawaban pengganti. Yaitu pertanggungjawaban seorang tanpa kesalahan
pribadi, bertanggungjawab atas kesalahan orang lain (dwija prayitno, 2004: 100)
maksutnya: seorang dapat di tuntut pelaku tindak pidana walaupun ia tidak
melakukan tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pengganti inilah yang
dapat di gunakan untuk menuntut
perusahaan industry koorporasi yang melakukan tindak pidana untuk dapat dapat
di pertanggungjawabkan di pengadilan.
Berikut ini dikemukakan beberapa
pengertian kesalahan yang sering di pakai
dalam ilmu hokum pidana;
1.
Kesalahan sebagai pengertian hokum.
A.
Mazger kesalahan adalah syarat yang member dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana,
B.
Simons, sebagai dasar untuk bertanggungjawab
dalam hokum pidana. Ia berupa keadaan pshycish dari si pembuat dan
hubunganyaterhadap perbuatanya dan dalam arti bahwa dalam keadaan pshycish itu
perbuatanya dapat di celakan kepada si pembuat.
C.
Pompe,
pada pelanggaran norma yang di lakukan karena kesalahanya, biasanya
sifat melanggar hokum itu merupakan segi luarnya
Dari pendapat di atas dapat di
tarik kesimpulan bahwa, kesalahan itu mengandung unsure pencelaan terhaap
seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan di sini bukan pencelaan
yang berdasarkan susila, melainkan pencelaan bardasarkan hokum yang belaku.
2.
Arti kesalahan
Dibedakan kedalam 3 arti;
a.
Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat
disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hokum pidana
b.
Kesalahan dalam bentuk arti kesalahan
(schuldvorn, berupa,
-
Kesanggupan (dolus, opzet, atau intention)
-
Kealpaan (cculpa, nalatigeit, atau negligence)
3.
Kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan
(culpa)
Pemakaian istilah kesalahan dalam hal ini, seharusnya di hapuskan dan di
gantikan dengan kealpaan.
B. UNSUR-UNSUR
DARI KESALAHAN
Unsure-unsur
kesalahan sebagai berikut,
a.
Adanya kemampuan bertanggungjawab kepada si
pembuat, artinya keadaan jiwa si penanggunjawab harus normal.
b.
Adanya hubungan batin dengan si pembuat dengan
perbuatanya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut
bentuk-bentuk kesalahan.
c.
Tidak adanya alas an yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf.
C. KEMAMPUAN
BERTANGNGGUNG JAWAB (KBJ)
-
Menurut simons;
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai
suatu keadaan pshycish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya.
-
Menurut van Hamel
Kemampuan bertanggung jawab adalahsuatu keadaan
normalitas pshycish dan kematangan (kecerdasan yang membawa) tiga kemampuan.
a.
Mampu mengerti nilai-nilai dari akibat-akibat
perbuatanya
b.
Mampu untuk menyadari bahwa perbuatanya itu
menurut pandangan masyarakat tidak di bolehkan
c.
Mampu untuk menentukan kehendak atas perbuatanya
itu.
KUHP tidak menjelaskan mengenai
pengertian bertanggung jawab, tetapi dalam KUHP di jelaskan mengenai
syarat-syarat kemampuan secara negatif, hal ini terdapat dalam pasal 44,
Pasal 44 ayat (1) menerangkan “barang siapa yang
mendukung perbuatan yang tidak dapat di pertanggunjawabkan padanya, disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit , tidak di
pidana.
Seangkan dalam pasal 38 konsep
KUHP 2004 di jelaskan;
“setiap orang yang pada waktu
melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi
mental, tidak dapat di pertanggungjawabkan dan di jatuhi piana, tetapi dapat di kenakan
tindakan.
Didalam ilmu kedokteran di kenal beberapa
penyakit jiwa yang disebut tidak dapat bertanggungjawab sebagian yang kemudian
di bagi kembali ke dalam penyakit;
-
Kleptomani adalah penyakit jiwa yang berupa
goncangan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang orang lain, tetapi
tidak sadar kalau
perbuatanya di larang.
-
Pyromane adalah penyakit jiwa berupa kesukaan
melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali
-
Claustropobe adalah penyakit jiwa yg berupa
ketakutan untuk berada di ruang yang sempit. Penderitanya dalam keadaan
tersebut, misalnya lalu memecah-mecah kaca.
Kekurangan kemampuan untuk bertanggungjawab
Terdakwa yang di anggap kurang
mampu bertanggungjawab masih mampu dianggap bertanggungjawab dan dapat di
pidana. Akantetapi factor ini di pakai pada factor untuk memberikan keringanan
dalam pemidanaaN.
D. KESENGAJAAN
DAN KEALPAAN
a.
Kesengajaan (opzet atau dolus)
Teori-teori tentang kesengajaan
-
Teori kehendak (wilstheori) inti kesengajaan
adalah kehendak untuk mewujudkan unsure-unsur delik dalam rumusan uu.
-
Teori pengetahuan atau pembayangan
(voorstellingtheorie) sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat
perbuatan; orang tak bias menghendaki
akibat, melainkan hanya dapat membayangkan
b.
Corak kesengajaan
-
Kesengajaan sebagai maksut untuk mencapai suatu
tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus directus
-
Kesengajaan dengan kesadaran kepastian
No comments:
Post a Comment