Sumber-Sumber Hukum dari
Ketentuan-Ketentuan Kode Etik Advokat :
Ketentuan-ketentuan tentang
berlakunya Tentang Kode Etik dan Kewenangan Dewan Kehormatan, diatur dalam:
1. Undang-undang
No.18 Tahun 2003 Tentang Adokat (UU Advokat).
a. Pasal
1 huruf a, b dan c UU Advokat, tentang pengertian Advokat, Klien
dan Teman Sejawat.
b. Pasal
6, Pasal 7 dan pasal 8 UU Advokat, tentang tindakan, jenis tindakan
yang dikenakan oleh Dewan Kehormatan;
c. Pasal
26 dan 27 UU Advokat, tentang kewenangan Oganisasi Advokat dan Dewan
Kehormatan;
d. Pasal
29 ayat (1) UU Advokat, tentang ditetapkan dan dijalankannya Kode Etik
bagi para anggotanya.
2. Kode
Etik Advokat Indonesia :
Berlakunya
Kode Etik sebagaimana diatur Undang-Undang Advokat, yaitu :
a. Pasal
33 UU Advokat mengatur bahwa Kode Etik dan Ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Profesi Advokat yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002, dinyatakan mempunyai
kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada
ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat ;
b. Pasal
27 ayat (5) UU Advokat mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut
mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat
d i a t u r dalam Kode Etik ;
c. Pasal
26 ayat (2) UU Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Profesi
Advokat dan Ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat ;
d. Pasal
21 UU Advokat, Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan
Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan Profesi Advokat
sebagai satu-satunya Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia .
3. Keputusan
Dewan Kehormatan ;
a. Pasal
26 ayat (5) UU Advokat mengatur bahwa Dewan Kehormatan Organisasi Advokat
memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat berdasarkan Tata
Cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
b. Pasal
26 ayat (7) mengatur : Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili
pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
c. Pasal
20 KEAI mengatur : Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal
yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau
menentukan hal-hal yang belum diatur di dalamnya ….. dst.
4. Keputusan
Organisasi Advokat (PERADI)
Pasal
26 ayat (1) UU Advokat mengatur : “Untuk menjaga martabat dan kehormatan
profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat”.
KEPATUHAN & KETAATAN
ADVOKAT TERHADAP KODE ETIK :
Sebagaimana
diuraikan bahwa Advokat harus tunduk dan patuh terhadap organisasi, maka
Advokat juga harus mematuhi Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan :
1. Setiap Advokat harus menjaga
citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjungjung tinggi Kode
Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan
sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa
melihat dari organisasi profesi mana ia berasal dan menjadi anggota, yang
pada saat mengucapkan Sumpah Profesinya tersirat pengakuan dan kepatuhannya
terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku (Kode Etik, Pembukaan, alinea
ke-4).
2. Pasal 26 ayat (2) UU
Advokat mengatur : Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat
dan ketentuan tentang Dewan kehormatan.
3. Pasal 9 butir a.
KEAI, mengatur, ”Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik
Advokat ini”.
4. Pasal 9 butir b.
KEAI, mengatur, ”Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini
dilakukan oleh Dewan Kehormatan”.
5. Pasal 10 ayat (1)
KEAI, mengatur, ”Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat”.
Pasal 22 KEAI ayat (1), Kode Etik ini dibuat dan
diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disyahkan dan ditetapkan
oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI),
Ikatan Penasehat Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia
(HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan
berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa
terkecuali.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan
proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan,
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara
yang diatur dalam undang-undang.[6]
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang
penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai
yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan
tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai
dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku,
baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.[7]
1. Profesi
hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di
sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2.
Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar
keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga
tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak
bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan
secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat
adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang
mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim
wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini
tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini
melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim
harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara
vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia,
baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili."[8]
6. Hakim
wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29
ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan
suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa,
jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi
hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga
digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada
hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi
memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai
berikut. [10]
1. Profesi
harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa
pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan
profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada
nilai-nilai luhur.
3.
Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai
keseluruhan.
4.
Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu
dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang
secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus
memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah
satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya
proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap
orang yang akan mengemban profesi ini.
2.2 Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]
a. Warga Negara
Indonesia.
b. Bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Bukan
bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi
massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
e. Pegawai
Negeri.
f. Sarjana
hukum.
g. Berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan baik.
2.3 Pendidikan dan Pelatihan Calon
Hakim[12]
Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi
calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya
dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi
para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim.
Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang
selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di
pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang
terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para
peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan,
hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan, yang merupakan fase seleksi
kepegawaian secara umum.
Setelah melalui proses pengangkatan dan
memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam
Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan
(Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini,
para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai
dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila
dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan
status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu
tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola
pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya,
Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan
mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai
hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
Tanggung Jawab Moral
Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim
adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das
sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan
alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu
etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal
perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for
Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di
bawah ini. [20]
1. To hear
corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer
wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To
consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide
impartially (memutus tidak berat sebelah). Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus
dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya
diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy
Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu
bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya
adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang
memimpin persidangan.[24] Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap
pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25]
1. bersikap dan
bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
2. tidak
dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati
terhadap pihak-piha yang berperkara;
3. harus bersikap
sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun
perbuatan;
4. harus
menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan
keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus
menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap
atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]
1. taat kepada
pimpinan;
2.
menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
3. berusaha
memberi saran-saran yang membangun;
4. mempunyai
kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan
norma-norma kedinasan; dan
5. tidak
dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim
haruslah:[27]
1. memelihara dan
memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
2. memiliki
rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;
3. memiliki
kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
4. menjaga
nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap
hakim selayaknya bersikap:[28]
1. harus mempunyai
sifat kepemimpinan;
2.
membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3. harus
mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
4.
memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
5. memberi
contoh kedisiplinan.
2.8 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi
di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya.
Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]
1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan
baik dan tidak tercela;
3. tidak
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri
dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
5. tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim
harus bersikap:[30]
1. menjaga
keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun
norma kesusilaan;
2. menjaga
ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
3. menyesuaikan
kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan
4. tidak
dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim
harus selalu:[31]
1. selaku anggota
masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
2. dalam hidup
bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
3. harus menjaga
nama baik dan martabat hakim.
Tanggung Jawab Hukum
Hakim
Beberapa peraturan perundang-undangan yang
memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula
hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus
ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29
ayat (3)).
I. KODE ETIK NOTARIS
Pasal 83 ayat (1) UUJN menyatakan :
“Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode
Etik Notaris”.
Atas dasar ketentuan Pasal 83 ayat (1) UUJN
tersebut Ikatan Notaris Indonesia pada Kongres Luar Biasa di Bandung pada
tanggal 27 Januari 2005, telah menetapkan Kode Etik yang terdapat dalam Pasal
13 Anggaran Dasar:
1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran
martabat jabatan Notaris, Perkumpulan mempunyai Kode Etik yang ditetapkan oleh
Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota
perkumpulan.
2. Dewan Kehormatan melakukan upaya-upaya
untuk menegakkan Kode Etik .
3. Pengurus perkumpulan dan/atau Dewan Kehormatan
bekerjasama dan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas untuk melakukan upaya
penegakkan Kode Etik.
III. KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN
Bab III Kode Etik Notaris mengatur mengenai
kewajiban, larangan dan pengecualian.
A. KEWAJIBAN
Pasal 3 Kode Etik Notaris mengatur mengenai
kewajiban Notaris. Seorang Notaris mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Memiliki moral, akhlak serta
kepribadian yang baik.
Seorang Notaris harus mempunyai moral,
akhlak serta kepribadian yang baik, karena Notaris menjalankan sebagian
kekuasaan Negara di bidang Hukum Privat, merupakan jabatan kepercayaan dan
jabatan terhormat.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat jabatan Notaris.
a. Notaris harus menyadari bahwa perilaku
diri dapat mempengaruhi jabatan yang diembannya.
b. Harkat dan martabat merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari jabatan.
3. Menjaga dan membela kehormatan
perkumpulan.
a. Sebagai anggota yang merupakan bagian
dari perkumpulan, maka seorang Notaris harus dapat menjaga kehormatan
perkumpulan.
b. Kehormatan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak
berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan perundang-undangan dan isi
sumpah jabatan Notaris.
a. Jujur terhadap diri sendiri, terhadap
klien dan terhadap profesi.
b. Mandiri dalam arti dapat
menyelenggarakan kantor sendiri, tidak bergantung pada orang atau pihak lain
serta tidak menggunakan jasa pihak lain yang dapat mengganggu kemandiriannya.
c. Tidak berpihak berarti tidak membela/menguntungkan
salah satu pihak dan selalu bertindak untuk kebenaran dan keadilan.
d. Penuh rasa tanggung jawab dalam arti
selalu dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya, akta yang dibuatnya dan
bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang diembannya.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang
telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
a. Menyadari Ilmu selalu berkembang.
b. Hukum tumbuh dan berkembang bersama
dengan perkembangan masyarakat.
6. Mengutamakan pengabdian kepada
kepentingan masyarakat dan Negara.
Notaris diangkat bukan untuk kepentingan
individu Notaris, jabatan Notaris adalah jabatan pengabdian, oleh karena itu
Notaris harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan
jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk
kepedulian (rasa sosial) Notaris terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk
pengabdian Notaris terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.
8. Menetapkan satu kantor di tempat
kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
a. Notaris tidak boleh membuka kantor
cabang, kantor tersebut harus benar-benar menjadi tempat ia menyelenggarakan
kantornya.
b. Kantor Notaris dan PPAT harus berada
di satu kantor.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di
depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran, yaitu 100 cm x 40 cm; 150
cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan Nomor Surat Keputusan;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan Nomor telepon/fax.
e. Papan nama bagi kantor Notaris adalah
Papan Jabatan yang dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa di tempat tersebut
ada Kantor Notaris, bukan tempat promosi.
f. Papan jabatan tidak boleh bertendensi
promosi seperti jumlah lebih dari satu atau ukuran tidak sesuai dengan standar.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi
aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati,
mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
a. Aktivitas dalam berorganisasi dianggap
dapat menumbuhkembangkan rasa persaudaraan profesi.
b. Mematuhi dan melaksanakan keputusan
organisasi adalah keharusan yang merupakan tindak lanjut dari kesadaran dan
kemauan untuk bersatu dan bersama.
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara
tertib.
Memenuhi kewajiban finansial adalah bagian
dari kebersamaan untuk menanggung biaya organisasi secara bersama dan tidak
membebankan pada salah seorang atau sebagian orang.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli
waris teman sejawat yang meninggal dunia.
Meringankan beban ahli waris rekan
seprofesi merupakan wujud kepedulian dan rasa kasih antar rekan.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua
ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan.
Hal tersebut adalah untuk menghindari
persaingan tidak sehat, menciptakan peluang yang sama dan mengupayakan
kesejahteraan bagi seluruh Notaris.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama
dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya,
kecuali karena alasan-alasan yang sah.
a. Akta dibuat dan diselesaikan di Kantor
Notaris, diluar kantor pada dasarnya merupakan pengecualian.
b. Di luar kantor harus dilakukan dengan
tetap mengingat Notaris hanya boleh mempunyai satu kantor.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan
kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta
saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling
menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali
silaturahim.
a. Dalam berhubungan antar sesama rekan
dilakukan dengan sikap dan perilaku yang baik dengan saling menghormati dan
menghargai atas dasar saling bantu membantu.
b. Tidak boleh saling menjelekkan apalagi
dihadapan klien.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang
dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
Memperlakukan dengan baik harus diartikan
tidak saja Notaris bersikap baik tetapi juga tidak membuat pembedaan atas dasar
suku, ras, agama serta status sosial dan keuangan.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang
secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara
lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UUJN, Penjelasan
Pasal 19 ayat (2) UUJN, Isi Sumpah Jabatan Notaris, Anggaran Dasar dan Rumah
tangga INI.
B. LARANGAN
Pasal 4 Kode Etik Notaris mengatur mengenai
larangan. Larangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor,
baik kantor cabang maupun kantor perwakilan.
a. larangan ini diatur pula dalam Pasal
19 UUJN sehingga pasal ini dapat diartikan pula sebagai penjabaran UUJN.
b. Mempunyai satu kantor harus diartikan
termasuk kantor PPAT
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan
yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor.
Larangan ini berkaitan dengan kewajiban
yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (9) Kode Etik Notaris sehingga tindakannya
dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kewajibannya.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri,
baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan mencantumkan nama dan
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan atau elektronik dalam bentuk
iklan, ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan
pemasaran, kegiatan sponsor baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah
raga.
larangan ini merupakan konsekuensi logis
dari kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum dan bukan sebagai Pengusaha/Kantor
Badan Usaha sehingga publikasi/promosi tidak dapat dibenarkan.
4. Bekerjasama dengan biro
jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakikatnya bertindak sebagai perantara untuk
mencari atau mendapatkan klien.
Notaris adalah Pejabat Umum dan apa yang
dilakukan merupakan pekerjaan jabatan dan bukan dengan tujuan pencarian uang
atau keuntungan sehingga penggunaan biro jasa/orang/badan hukum sebagai
perantara pada hakikatnya merupakan tindakan pengusaha dalam pencarian
keuntungan yang tidak sesuai dengan kedudukan peran dan fungsi Notaris.
5. Menandatangani akta yang proses
pembuatan minutanya telah disiapkan oleh pihak lain.
Jabatan Notaris harus mandiri, jujur dan
tidak berpihak sehingga pembuatan minuta yang telah dipersiapkan oleh pihak
lain tidak memenuhi kewajiban Notaris yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (4) Kode
Etik Notaris.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk
ditandatangani.
penandatanganan akta Notaris merupakan
bagian dari keharusan agar akta tersebut dikatakan sebagai akta otentik. Selain
hal tersebut, Notaris menjamin kepastian tanggal penandatanganan.
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan
apapun agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu
ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara
orang lain.
Berperilaku baik dan menjaga hubungan baik
dengan sesama rekan diwujudkan antara lain dengan tidak melakukan upaya baik
langsung maupun tidak langsung mengambil klien rekan.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien
dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan
tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta
padanya.
Pada dasarnya setiap pembuatan akta harus
dilakukan dengan tanpa adanya paksaan dari siapapun termasuk dari Notaris.
Kebebasan membuat akta merupakan hak dari klien itu,
9. Melakukan usaha-usaha baik langsung
maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak
sehat dengan sesama rekan Notaris.
Persaingan yang tidak sehat merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik sehingga upaya yang dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung harus dianggap sebagai pelanggaran Kode Etik.
10. Menetapkan honorarium yang harus
dibayar oleh klien dengan jumlah lebih rendah dari honorarium yang telah
ditetapkan Perkumpulan.
Penetapan honor yang lebih rendah dianggap
telah melakukan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan melalui penetapan
honor.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang
yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih
dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
Mengambil karyawan rekan Notaris dianggap
sebagai tindakan tidak terpuji yang dapat mengganggu jalannya kantor Rekan
Notaris.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan
rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya.
Dalam hal seorang Notaris menghadapi
dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata
didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan
klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang
bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat
menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan
sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk
berpartisipasi.
Notaris wajib memperlakukan rekan Notaris
sebagai keluarga seprofesi, sehingga diantara sesama rekan Notaris harus saling
menghormati, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali
silaturahim.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mencantumkan gelar yang tidak sah
merupakan tindak pidana, sehingga Notaris dilarang menggunakan gelar-gelar
tidak sah yang dapat merugikan masyarakat dan Notaris itu sendiri.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain
yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara
lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan dalam UUJN; Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; Isi Sumpah
Jabatan Notaris; Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga dan/atau keputusan-keputusan lain yang sudah ditetapkan organisasi INI
yang tidak boleh dilakukan anggota.
C. PENGECUALIAN
Pasal 5 Kode Etik Notaris mengatur mengenai
hal-hal yang merupakan pengecualian, sehingga tidak termasuk pelanggaran. Hal
tersebut meliputi:
1. Memberikan ucapan selamat, ucapan duka
cita dengan menggunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media
lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja.
a. Yang dibolehkan sebagai pribadi dan
tidak dalam jabatan.
b. Tidak dimaksudkan sebagai promosi
tetapi upaya menunjukkan kepedulian social dalam pergaulan.
2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam
buku panduan nomor telepon, fax dan telex yang diterbitkan secara resmi oleh
PT. Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
Hal tersebut dianggap tidak lagi sebagai
media promosi tetapi lebih bersifat pemberitahuan.
3. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan
dengan ukuran tidak melebihi 20 x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna
hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100
meter dari Kantor Notaris. Dipergunakan sebagai papan petunjuk, bukan papan
promosi
No comments:
Post a Comment