Saturday 22 June 2013

Kode Etik Profesi Hukum


Sumber-Sumber Hukum dari Ketentuan-Ketentuan Kode Etik Advokat :

Ketentuan-ketentuan  tentang berlakunya Tentang Kode Etik dan Kewenangan Dewan Kehormatan, diatur dalam:
1.     Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Adokat (UU Advokat).
a.     Pasal 1  huruf a, b dan c  UU Advokat, tentang pengertian Advokat, Klien dan Teman Sejawat.
b.     Pasal 6, Pasal 7 dan pasal 8  UU Advokat, tentang tindakan, jenis tindakan  yang dikenakan oleh Dewan Kehormatan;
c.      Pasal 26 dan 27 UU Advokat, tentang kewenangan Oganisasi Advokat dan Dewan Kehormatan;
d.     Pasal 29 ayat (1) UU Advokat, tentang ditetapkan dan dijalankannya Kode Etik  bagi para anggotanya.
2.     Kode Etik Advokat Indonesia :
Berlakunya Kode Etik sebagaimana diatur Undang-Undang Advokat, yaitu  :
a.     Pasal 33 UU Advokat mengatur bahwa Kode Etik dan Ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002, dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat ;
b.     Pasal 27 ayat (5) UU Advokat mengatur  bahwa  Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat   d i a t u r  dalam Kode Etik ;
c.      Pasal 26 ayat (2) UU  Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Profesi Advokat dan Ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat ;
d.     Pasal 21 UU Advokat, Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan Profesi  Advokat sebagai satu-satunya Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia .
3.     Keputusan Dewan Kehormatan ;
a.     Pasal 26 ayat (5) UU Advokat mengatur bahwa Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat berdasarkan Tata Cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
b.     Pasal 26 ayat (7) mengatur : Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
c.      Pasal 20 KEAI mengatur : Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur di dalamnya ….. dst.

4.     Keputusan Organisasi Advokat (PERADI)
Pasal 26 ayat (1) UU Advokat mengatur : “Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat”.

KEPATUHAN  &  KETAATAN
ADVOKAT TERHADAP KODE ETIK :

Sebagaimana diuraikan bahwa Advokat harus tunduk dan patuh terhadap organisasi, maka Advokat juga  harus mematuhi Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan :
1.     Setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjungjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesinya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku (Kode Etik, Pembukaan, alinea ke-4).
2.     Pasal 26 ayat (2) UU Advokat mengatur : Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan kehormatan.
3.     Pasal 9 butir  a. KEAI,  mengatur,  ”Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini”.
4.     Pasal 9 butir  b. KEAI, mengatur,  ”Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan”.
5.     Pasal 10  ayat (1) KEAI, mengatur, ”Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat”.
Pasal 22 KEAI ayat (1), Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disyahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Profesi Hakim dan Karakteristiknya

Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.[6]

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.[7]

1.       Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.

2.       Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3.       Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.

4.       Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.

5.       Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:

"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."[8]

6.       Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]

Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10]

1.       Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.

2.       Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.

3.       Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4.       Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.

2.2  Persyaratan Calon Hakim

Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]

a.      Warga Negara Indonesia.

b.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

c.       Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

d.       Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

e.       Pegawai Negeri.

f.       Sarjana hukum.

g.       Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.

h.      Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

2.3   Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim[12]

Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian pra­jabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.

Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.

Tanggung Jawab Moral Hakim

Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]

1.       To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).

2.       To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).

3.       To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).

4.       To decide impartially (memutus tidak berat sebelah). Sikap Hakim dalam Kedinasan

Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.[24] Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:[25]

1.      bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;

2.      tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;

3.      harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;

4.       harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan

5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]

1.      taat kepada pimpinan;

2.       menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;

3.       berusaha memberi saran-saran yang membangun;

4.       mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan

5.       tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.

Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]

1.      memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;

2.       memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;

3.       memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan

4.       menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]

1.      harus mempunyai sifat kepemimpinan;

2.       membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;

3.       harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;

4.       memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan

5.       memberi contoh kedisiplinan.

2.8   Sikap Hakim Di Luar Kedinasan

Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]

1. memiliki kesehatan jasmani dan rohani;

2.      berkelakuan baik dan tidak tercela;

3.      tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;

4.      menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan

5.      tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]

1.      menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan;

2.      menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;

3.      menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan

4.      tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.

Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]

1.      selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;

2.      dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan

3.      harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

Tanggung Jawab Hukum Hakim

Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:

a.      bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));

b.      bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan

c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
I. KODE ETIK NOTARIS
Pasal 83 ayat (1) UUJN menyatakan :
“Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris”.
Atas dasar ketentuan Pasal 83 ayat (1) UUJN tersebut Ikatan Notaris Indonesia pada Kongres Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005, telah menetapkan Kode Etik yang terdapat dalam Pasal 13 Anggaran Dasar:
1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris, Perkumpulan mempunyai Kode Etik yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan.
2. Dewan Kehormatan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan Kode Etik .
3. Pengurus perkumpulan dan/atau Dewan Kehormatan bekerjasama dan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas untuk melakukan upaya penegakkan Kode Etik.
III. KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN
Bab III Kode Etik Notaris mengatur mengenai kewajiban, larangan dan pengecualian.
A. KEWAJIBAN
Pasal 3 Kode Etik Notaris mengatur mengenai kewajiban Notaris. Seorang Notaris mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
Seorang Notaris harus mempunyai moral, akhlak serta kepribadian yang baik, karena Notaris menjalankan sebagian kekuasaan Negara di bidang Hukum Privat, merupakan jabatan kepercayaan dan jabatan terhormat.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
a. Notaris harus menyadari bahwa perilaku diri dapat mempengaruhi jabatan yang diembannya.
b. Harkat dan martabat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jabatan.
3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan.
a. Sebagai anggota yang merupakan bagian dari perkumpulan, maka seorang Notaris harus dapat menjaga kehormatan perkumpulan.
b. Kehormatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
a. Jujur terhadap diri sendiri, terhadap klien dan terhadap profesi.
b. Mandiri dalam arti dapat menyelenggarakan kantor sendiri, tidak bergantung pada orang atau pihak lain serta tidak menggunakan jasa pihak lain yang dapat mengganggu kemandiriannya.
c. Tidak berpihak berarti tidak membela/menguntungkan salah satu pihak dan selalu bertindak untuk kebenaran dan keadilan.
d. Penuh rasa tanggung jawab dalam arti selalu dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya, akta yang dibuatnya dan bertanggung jawab terhadap kepercayaan yang diembannya.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
a. Menyadari Ilmu selalu berkembang.
b. Hukum tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
Notaris diangkat bukan untuk kepentingan individu Notaris, jabatan Notaris adalah jabatan pengabdian, oleh karena itu Notaris harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kepedulian (rasa sosial) Notaris terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk pengabdian Notaris terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
a. Notaris tidak boleh membuka kantor cabang, kantor tersebut harus benar-benar menjadi tempat ia menyelenggarakan kantornya.
b. Kantor Notaris dan PPAT harus berada di satu kantor.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran, yaitu 100 cm x 40 cm; 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan Nomor Surat Keputusan;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan Nomor telepon/fax.
e. Papan nama bagi kantor Notaris adalah Papan Jabatan yang dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa di tempat tersebut ada Kantor Notaris, bukan tempat promosi.
f. Papan jabatan tidak boleh bertendensi promosi seperti jumlah lebih dari satu atau ukuran tidak sesuai dengan standar.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
a. Aktivitas dalam berorganisasi dianggap dapat menumbuhkembangkan rasa persaudaraan profesi.
b. Mematuhi dan melaksanakan keputusan organisasi adalah keharusan yang merupakan tindak lanjut dari kesadaran dan kemauan untuk bersatu dan bersama.
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib.
Memenuhi kewajiban finansial adalah bagian dari kebersamaan untuk menanggung biaya organisasi secara bersama dan tidak membebankan pada salah seorang atau sebagian orang.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.
Meringankan beban ahli waris rekan seprofesi merupakan wujud kepedulian dan rasa kasih antar rekan.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan.
Hal tersebut adalah untuk menghindari persaingan tidak sehat, menciptakan peluang yang sama dan mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh Notaris.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.
a. Akta dibuat dan diselesaikan di Kantor Notaris, diluar kantor pada dasarnya merupakan pengecualian.
b. Di luar kantor harus dilakukan dengan tetap mengingat Notaris hanya boleh mempunyai satu kantor.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
a. Dalam berhubungan antar sesama rekan dilakukan dengan sikap dan perilaku yang baik dengan saling menghormati dan menghargai atas dasar saling bantu membantu.
b. Tidak boleh saling menjelekkan apalagi dihadapan klien.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
Memperlakukan dengan baik harus diartikan tidak saja Notaris bersikap baik tetapi juga tidak membuat pembedaan atas dasar suku, ras, agama serta status sosial dan keuangan.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UUJN, Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN, Isi Sumpah Jabatan Notaris, Anggaran Dasar dan Rumah tangga INI.
B. LARANGAN
Pasal 4 Kode Etik Notaris mengatur mengenai larangan. Larangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang maupun kantor perwakilan.
a. larangan ini diatur pula dalam Pasal 19 UUJN sehingga pasal ini dapat diartikan pula sebagai penjabaran UUJN.
b. Mempunyai satu kantor harus diartikan termasuk kantor PPAT
2. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor.
Larangan ini berkaitan dengan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (9) Kode Etik Notaris sehingga tindakannya dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kewajibannya.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan atau elektronik dalam bentuk iklan, ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan pemasaran, kegiatan sponsor baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah raga.
larangan ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum dan bukan sebagai Pengusaha/Kantor Badan Usaha sehingga publikasi/promosi tidak dapat dibenarkan.
4. Bekerjasama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakikatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
Notaris adalah Pejabat Umum dan apa yang dilakukan merupakan pekerjaan jabatan dan bukan dengan tujuan pencarian uang atau keuntungan sehingga penggunaan biro jasa/orang/badan hukum sebagai perantara pada hakikatnya merupakan tindakan pengusaha dalam pencarian keuntungan yang tidak sesuai dengan kedudukan peran dan fungsi Notaris.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah disiapkan oleh pihak lain.
Jabatan Notaris harus mandiri, jujur dan tidak berpihak sehingga pembuatan minuta yang telah dipersiapkan oleh pihak lain tidak memenuhi kewajiban Notaris yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (4) Kode Etik Notaris.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
penandatanganan akta Notaris merupakan bagian dari keharusan agar akta tersebut dikatakan sebagai akta otentik. Selain hal tersebut, Notaris menjamin kepastian tanggal penandatanganan.
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
Berperilaku baik dan menjaga hubungan baik dengan sesama rekan diwujudkan antara lain dengan tidak melakukan upaya baik langsung maupun tidak langsung mengambil klien rekan.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
Pada dasarnya setiap pembuatan akta harus dilakukan dengan tanpa adanya paksaan dari siapapun termasuk dari Notaris. Kebebasan membuat akta merupakan hak dari klien itu,
9. Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
Persaingan yang tidak sehat merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik sehingga upaya yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung harus dianggap sebagai pelanggaran Kode Etik.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dengan jumlah lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
Penetapan honor yang lebih rendah dianggap telah melakukan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan melalui penetapan honor.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
Mengambil karyawan rekan Notaris dianggap sebagai tindakan tidak terpuji yang dapat mengganggu jalannya kantor Rekan Notaris.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya.
Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
Notaris wajib memperlakukan rekan Notaris sebagai keluarga seprofesi, sehingga diantara sesama rekan Notaris harus saling menghormati, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mencantumkan gelar yang tidak sah merupakan tindak pidana, sehingga Notaris dilarang menggunakan gelar-gelar tidak sah yang dapat merugikan masyarakat dan Notaris itu sendiri.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUJN; Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; Isi Sumpah Jabatan Notaris; Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau keputusan-keputusan lain yang sudah ditetapkan organisasi INI yang tidak boleh dilakukan anggota.
C. PENGECUALIAN
Pasal 5 Kode Etik Notaris mengatur mengenai hal-hal yang merupakan pengecualian, sehingga tidak termasuk pelanggaran. Hal tersebut meliputi:
1. Memberikan ucapan selamat, ucapan duka cita dengan menggunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja.
a. Yang dibolehkan sebagai pribadi dan tidak dalam jabatan.
b. Tidak dimaksudkan sebagai promosi tetapi upaya menunjukkan kepedulian social dalam pergaulan.
2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax dan telex yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya.
Hal tersebut dianggap tidak lagi sebagai media promosi tetapi lebih bersifat pemberitahuan.
3. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari Kantor Notaris. Dipergunakan sebagai papan petunjuk, bukan papan promosi

No comments:

Post a Comment