Monday 5 October 2015

APPLICATION OF TOURISM LAW IN MAINTAINING VALUES CUSTOM INDONESIA

Tourism is a wide range of tourist activities and supported a wide range of facilities and services provided by the public, employers, the Government, and Local Government and Tourism is the overall activities related to tourism and is multidimensional and multidisciplinary emerging as a manifestation of everyone's needs and the state as well as interactions between tourists and local communities, fellow tourists, Government, Local Government, and employers.
In Indonesia, tourism is an important economic sector. In 2009, tourism ranks third in terms of foreign exchange earnings after oil, and gas and palm oil. Based on 2010 data, the number of foreign tourists coming to Indonesia amounted to 7 million, an increase of 10.74% over the previous year, and contributed to the country's foreign exchange amounted to 7603.45 million US dollars.
Natural and cultural resources is an important component of tourism in Indonesia. Indonesia has a combination of natural tropical climate, pulauyang 17,508 6,000 of which are inhabited, and the third longest coastline in the world after Canada and the European Union. Indonesia is also the largest and most populous island in the world. The beaches in Bali, dive sites in Bunaken, Mount Rinjani in Lombok, and various national parks in Sumatra is an example of natural tourist destination in Indonesia. Tourist attractions that are supported by a rich cultural heritage that reflects the history and ethnic diversity of Indonesia dynamic with 719 local languages ​​are spoken throughout the islands.
However, unfortunately, the government is thinking about the economy away from tourism has provided foreign exchange for the country, do not think about morality and customs, whereas one of the principles of tourism is "upholding the religious norms and cultural values ​​as the embodiment of the concept of life in the balance of the relationship between man and God
The Almighty, the relationship between man and his fellow man, and the relationship between humans and the environment and upholding human rights, cultural diversity, and local wisdom. "
Plus another that obligation tourists that one of them is "to maintain and respect the religious norms, customs, culture, and values ​​that live in the local community" (article 25 of Law No. 10 Th 2009) and "Every tourist who does not comply with the provisions referred to in Article 25, subject to sanctions in the form of verbal warning accompanied by a notice regarding the things that must be met (article 62 of Law no 10 th 2009)
But the fact is, whether tourists are already maintaining and respecting norms, religion, customs, culture and values ​​in society? And whether the government has given a warning to travelers sanctions against not respecting norms, religion, customs, culture and values ​​in society? The answer is not yet.
One example that tourists do not respect the norms, religion, customs, culture and values ​​in society is using to wear a bikini on the beach? kissing on the roadside? Whether it is in accordance with the norms, religious, cultural mores and values ​​in society? NO, then, does it give a warning to travelers sanctions? NO.
So it is natural that the norms, religion, customs, culture, and values ​​in society have started to fade, and it is natural also our country is still on the runway, still swirling and left on the runway because we no longer has identity.

If we look at the Asian countries memeprtahankan native cultures: China, Japan, India, Korea and even Thailand. In 50-60 years after independence, or after free from foreign influence, these nations are already taking off

Friday 18 September 2015

Konsep hukum dan ide keadilan

Konsep hukum dan ide keadilan



Upaya untuk membebaskan konsep hukum dari ide keadilan bukanlah persoalan mudah, sebab kedua konsep tersebut selalu dicampur-adukkan di dalam pemikiran politik yang tidak ilmiah dan juga di dalam pembicaraan umum, dank arena pencampuradukan kedua konsep ini berkaitan dengan kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil. Jika hukum dan keadilan disamakan, jika tatanan yang adil saja disebut hukum, maka tatanan social yang disebut hukum dalam waktu yang sama juga akan disebut adil. Dan itu berati bahwa tatanan social ini dibenarkan secara moral. Kecenderungan untuk menyamakan hukum dan keadilan merupakan kecenderungan untuk membenarkan tatanan social tertentu. Ini suatu kecenderungan politik, bukan cenderungan ilmiah. Dikerenakan adanya kecenderungan ini, usaha untuk memperlakukan hukum dan keadilan sebagai dua persoalan yang berbeda dikhwatirkan akan mengsampingkan seluruh persyaratan bahwa hukum positif harus adil. Persyaratan ini sangatlah jelas. Namun apa arti sesungguhnya hukum murni sama sekali tidak menolak persyaratan bagi hukum yang adil dengan menyatakan bahwa teori itu sendiri tidak kompeten dan di mana letak unsur terpentingnya dari keadilan tersebut. Teori hukum murni sebagai ilmu tidak dapat menjawab pertanyaan samacam ini karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat menjawab secara ilmiah. Apa arti sesunggihnya dari pertanyataan bahwa tatanan social tertentu merupakan sebuah tatanan yang adil? Pernyataan ini berate bahwa tatanan tersebut mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuasakan bagi semua orang sehingga meraka semua menemukan kebahagiaan didalamnya. Kerinduan akan keadilan merupakan kerinduan abdi manusia akan kebahagian. Kebahagian inilah yang tidak dapat ditemukan oleh manusi sebagai seorang individu terisolasi dan oleh sebab itu ia berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah kebahagian social. 

Batasan Pemekaran Kecamatan

            Batasan Pemekaran Kecamatan
Menurut Pasal 1 PP Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan, pembentukan Kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Kecamatan di kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan Pasal 2 ayat (2) mengatur pembentukan Kecamatan atau lebih, dan atau penyatuan wilayah desa dan atau kelurahan dadri beberapa Kecamatan. Peraturan pemerinatah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat pembentukan Kecamatan terdapat pada Pasal 4 yaitu, syarat  pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi: [1]
  1. Batas usia penyelenggaraan pemerintah minimal 5 (lima) tahun;
  2. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
  3. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan forum komunikasi kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah Kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah Kecamatan baru maupun Kecamatan induk tentang persetujuam pembentukan Kecamatan
  4. Keputusan kepala desa atau nama lain untuk desa dan keputusan lurah atau nama lain untuk kelurahan diseluruh wilayah Kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayah Kecamatan baru maupun kecamtan induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan.
  5. Rekomendasi Gubernur.
Selanjutnya pada Pasal 5 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasicalon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. Makna cakupan wilayah diatur secara lebih rinci dalam Pasal 6 PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:[2]
1)      Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling sedikit terdiri dari atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan.
2)      Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, social ekonomi, social politik, dan social budaya
3)      Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor Camat yang dapat digunakan untuk memeberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan mengatur persyaratan teknis pemerkaran Kecamatan, yaitu:[3]
(1)   Persyaratan teknis sebagaiamana dimaksud dalam Pasala 3 ini, meliputi:
a.       Jumlah penduduk;
b.      Luas wilayah;
c.       Rentang kendali penyelengaraan pelayanan pemerintahan;
d.      Aktivitas perekonomian;
e.       Ketersediaan saran dan prasarana;
(2)   Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7 dinilai bedasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerfintah kabupaten/kota sesuai indicator sebagaimana dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tantang Kecamatan
Kriteria pemekaran Kecamatan yang mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 yang terdapat di Pasal 3 yaitu variable utama jumlah minimal penduduk, luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan.
Syarat jumlah penduduk dalam pemekaran Kecamatan yang terdapat di Pasal 4 dan syarat tentang luas wilayah Kecamatan terdapat di Pasal 5 sebagaimana dimaksud Pasal 3 Keputusan Menteri Dalam Negari Nomor 4 Tahun 2000.
Akan tetapi kriteria pemekaran Kecamatan di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tidak digunakan lagi karena sudah terbit PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Persyaratan teknis sebagaimana dikemukakan di Pasal 4, 5, 6, dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, dinilai berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan indkator yang tertera pada lampiran PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.




[1] Nurmayani, S.H., M.H., Op, Cit,.hlm.51
[2] Ibid, hlm. 52
[3] Ibid.