Sunday, 14 August 2016

Hukum dan Perdamaian


Perdamaian adalah suatu kondisi yang di situ tidak terdapat penggunaan paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relative, bukan absolut, karena hukum mencabut hak para individu untuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. perdamaian hukum bukan suatu kondisi dari ketiadaan peksaan mutlak, suatu keadaan anarkis; perdamian hukum adalah suatu kondisi monopoli paksaan, suatu monopoli paksaan oleh masyarakat.
Pada hakikatnya, keberadaan suatu masyarakat hanya dimungkinkan jika setiap individu menghormati kepentingan-kepentingan tertentu kehidupan, kebebasaan, dan harta benda dari setiap individu lain, yakni, jika setiap individu menahan diri dari perbuatan mengganggu secara paksa terhadap bidang kepentingan ini dari sesamanya. Teknik social yang kita sebut “hukum” pada hakikatnya ditunjuan untuk membuat individu menahan diri dari perbuatan mengganggu secara paksa terhadap bidang kepentingan individu yang lain melalui cara yang spesifik: dalam hal mengganggu demikian, masyrakat hukum itu mereaksi dengan suatu gangguan serupa terhadap bidang kepentingan individu yang bertanggung jawab atas gangguannya. Gangguan yang serupa untuk gangguan yang serupa. Ide retribusilah yang menjadi dasar tiknik social ini. Hanya pada tahap evolusi yang relative belakangan ini bahwa ide retribusi digantikan oleh ide pencegahan. Namun, perubahan ini ternyata hanya menyangkut ideology yang membenarkan teknik spesifik dari peraturan hukum. Teknik itu sendiri tetap sama.
Dengan demikian, gangguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan orang lain, di satu pihak merupakan suatu tindakan melawan hukum, delik, dan di pihak lain merupakan suatu sanksi. Hukum adalah suatu tatanan yang melarang penggunaan paksaan pada umumnya, tetapi sebagai kekecuali, dibawah kondisi-kondisi tertentu dan untuk individu-individu tertentu, dibolehkan menggunakan paksaan sebagai sanksi. Dalam peraturan hukum, penggunaan paksaan tampak; sebagai delik, yakni kondisi bagi sanksi atau sebagai sanksi yakni sebagai reaksi dari masyarakat hukum terhadapat delik.

Suatu bidang kepentingan para individu tertentu manjadi terlindungi selama gangguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan para individu yang hanya dibolehkan sebagai bentuk reaksi masyarakat terhadap tindakan individu yang dilarang, dan selama gangguan yang dapat dipaksankan terhadap bidang kepentingan individu dimonopoli oleh masyarakat. sepanjang tidak ada monopoli masyarakat dalam gangguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan individu, yakni sepanjang tatanan social tidak menetapkan bahwa ganguan yang dapat dipaksakan terhadap bidang kepentingan individu hanya dapat dipilih di bawah kondisi-kondisi tertentu ( sebagai reaksi atas ganguan illegal terhadap bidang kepentingan para individu dan kemudian hanya oleh individu-individu yang ditunjuk oleh tatanan social), selama itu pula tidak ada bidang kepentingan para individu yang dilindungi oleh tatanan social tersebut. Dengan kata lain, tidak ada keadaan hukum, menurut pengertian yang dikembangkan disini, yang pada hakikatnya merupakan keadaan perdamian.  

Sunday, 31 July 2016

Status Hukum Uang Publik-Uang Privat

Negara sebagai badan hukum publik dalam melaksanakan fungsi pemerintahan tidak mungkin dapat melaksanakan fungsinya tanpa dukung dengan keuangan negara. uang milik negara adalah uang negara yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya berlak ketentuan-ketentuan APBN dan peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan keuangan negara, anatra lain UU No. 17/2003 jo. UU No. 1/2004 jis UU No. 15/2004 jis. UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku beserta turunanya. dari segi hukum mengenai stastus yuridis kekayaan negara yang dipisahkan jelas terdapat pertentangan antara Undang-Undang no 17 Th 2003 Tentang keuangan negara khusunya pasal 2 huruf g di satu pihak dengan pasal 4 ayat 1 UU no 19 th 2003 tentang BUMN dan Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 seta peraturan pemerintah No.33 th 2006 tentang tata cara pengahapusan piutang negara daerah dilain pihak(pp33/2006).

pertentangan tersebut, telah menimbulkan akibat pertanyataan Ketua BPK menolak pelaksanaan peraturan pemerintah No 33 th 2006 tentang penyelesaian piutang negara/daerah sebagai penganti peraturan pemerintah no 14 th 2005 tentang penyesaian piutang negara/daerah.

baik Ketua BPK maupun pemerintah dan MA disatu pihak adalah sama-sama benar, karena mereka masing-masing berpegang pada hukum positif, yang salah dalam hal ini adalah rumusan pasal 2 huruf g dari UU no. 17 th 2003 yang mengatakan kekayaan negara/daerah yang dipisajlan pada BUMN/BUMD adalah masih tetap berstatus hukum keuangan negara. padahal dari segi teori hukum kekayaan negara/daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD sudah tidak lagi merupakan badan hukum negara/daerah karena telah terjadi "transformasi hukum" status yuridis uang tersebut dari keuangan Negara/daerah sebagai keuangan publik menjadi keuangan badan hukum lain yang berstatus yuridis badan hukum privat. dan terhadap keuangan negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi berlaku ketentuan APBN/APBD, akan tetapi berlaku ketentuan hukum privat dalam hal ini UU no 40 th 2007 tentang perseroaan terbatas dan ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata).

Transformasi hukum ini dipengaruhi pula oleh lingkungan kuasa hukum(rechtgeibied) yang berlaku seketika transformasi ini terjadi. oleh karenanya hukum yang berlaku terhadap kekayang negara/daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD berlaku lingkungan kuasa hukum privat, dan tidak berlaku lingkungan kuasa hukum publik yang berlaku sebelum kekayaan negara/daerah tersebut dipisahkan pada BUMN/BUMD

Lingkungan kuasa hukum atau rechtsgebeid ini berlaku otomatis seketika suatu badan hukum publik melakukan perbuatan hukum di lingkungan hukum perdata.lingkungan kuasa hukum perdata ini berlaku pula pada saat perbankan yang berstatus BUMN/BUMD memberikan pinjaman atau kredit kepada nasabah mereka, kerena di samping status hukum bank BUMN/BUMD tersebut adalah badan hukum perdata yang tidak mungkin mengeluarkan kebujiakan publik, terhadap perbuatan hukum memberikan kredit yang bukan merupakan perbuatan melanggar hukum oleh bank BUMN/BUMD kepada nasabahnya ini pun berlaku lingkungan kuasa hukum perdata atau privaatrechtselijke rechtsgebeid dan bukan lingkungan kuasa hukum publik atau publiekrechtstelijke rechtsgebeid. 



sesuai dengan pasal 4 ayat (3) UU no. 19/2003 tentang BUMN negara pada saat memisahkan kekayaan dalam rangka pendirian BUMN/persero yang dananya berasal dari APBN wajib dilakukan dengan peraturan pemerintah dan ini masih bertindak dalam ranah lingkungan kuasa hukum publik/keuangan negara (publiekrechtelijke rachtsgebeid). namun, ketika negara menyampaikan kehendaknya (wilsvorming) mendirikan BUMN/persero dihadapan notaris maka seketika itu pula negara menundukkan dirinya secara sukarela dan diam-diam pada hukum perdata dan kedudukan yuridis negara adalah sebagai subjek hukum perdata biasa dan kehilangan imunitas publiknya. negara sebagai pemenggang saham sama kedudukan hukumnya dengan anggota masyarakat biasa pemenggang saham lainnya (hubungan horizontal)

Wednesday, 27 July 2016

PERKAWINAN SAUDARA TIRI (Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

PERKAWINAN SAUDARA TIRI
(Presfektif agama islam, uu no 1 th 1974 dan adat)

 Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.
 Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Perkawinan saudara tiri merupakan perkawinan yang dilakukan oleh saudara yang seayah dan seibu saja. Tetapi masyarakat Indonesia mengangap  hal tersebut dilarang dilakukan, padahal dalam UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam tidak melarangnya, dijelaskan:
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

(Diantara wanita yang tidak boleh kalian nikahi) adalah para wanita yang berada di asuhan kalian, putri dari istri kalian, yang kalian telah melakukan hubungan dengannya. Jika kalian belum melakukan hubungan dengan istri kalian maka tidak mengapa kalian menikahi wanita asuhan itu..” (QS. An-Nisa: 23)

"Tidak diharamkan menikahi anak perempuan dari suami ibu (saudara tiri), tidak juga menikahi ibunya suaminya ibu (nenek tiri), tidak haram juga anak perempuan dari suaminya anak perempuan (cucu tiri), tidak haram juga ibu dari istrinya ayah (nenek tiri) tidak juga anak perempuan dari istri ayah (saudara tiri, persaudaraan karena ibu tiri), tidak pula ibu dari istri anak lelaki (besan), tidak pula anak perempuan dari istrinya anak kandung laki-laki (cucu tiri), dan tidak istri dari anak tiri (yang sudah ada persetubuhan dengan orang tuannya), dan tidak haram pula istri dari bapak tiri" (Raudhotuth thoolibiin: 2/484)

Jadi, yang mengangap perkawinan saudara tiri itu dilarang adalah padangan masyrakat atau adat aja, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan padangan masyarakat atau adat tersebut, karena kita adalah makhluk zoon politicion, yang tidak bias hidup  kalau tidak ada interaksi sesama jenis (makhluk social).

Monday, 5 October 2015

APPLICATION OF TOURISM LAW IN MAINTAINING VALUES CUSTOM INDONESIA

Tourism is a wide range of tourist activities and supported a wide range of facilities and services provided by the public, employers, the Government, and Local Government and Tourism is the overall activities related to tourism and is multidimensional and multidisciplinary emerging as a manifestation of everyone's needs and the state as well as interactions between tourists and local communities, fellow tourists, Government, Local Government, and employers.
In Indonesia, tourism is an important economic sector. In 2009, tourism ranks third in terms of foreign exchange earnings after oil, and gas and palm oil. Based on 2010 data, the number of foreign tourists coming to Indonesia amounted to 7 million, an increase of 10.74% over the previous year, and contributed to the country's foreign exchange amounted to 7603.45 million US dollars.
Natural and cultural resources is an important component of tourism in Indonesia. Indonesia has a combination of natural tropical climate, pulauyang 17,508 6,000 of which are inhabited, and the third longest coastline in the world after Canada and the European Union. Indonesia is also the largest and most populous island in the world. The beaches in Bali, dive sites in Bunaken, Mount Rinjani in Lombok, and various national parks in Sumatra is an example of natural tourist destination in Indonesia. Tourist attractions that are supported by a rich cultural heritage that reflects the history and ethnic diversity of Indonesia dynamic with 719 local languages ​​are spoken throughout the islands.
However, unfortunately, the government is thinking about the economy away from tourism has provided foreign exchange for the country, do not think about morality and customs, whereas one of the principles of tourism is "upholding the religious norms and cultural values ​​as the embodiment of the concept of life in the balance of the relationship between man and God
The Almighty, the relationship between man and his fellow man, and the relationship between humans and the environment and upholding human rights, cultural diversity, and local wisdom. "
Plus another that obligation tourists that one of them is "to maintain and respect the religious norms, customs, culture, and values ​​that live in the local community" (article 25 of Law No. 10 Th 2009) and "Every tourist who does not comply with the provisions referred to in Article 25, subject to sanctions in the form of verbal warning accompanied by a notice regarding the things that must be met (article 62 of Law no 10 th 2009)
But the fact is, whether tourists are already maintaining and respecting norms, religion, customs, culture and values ​​in society? And whether the government has given a warning to travelers sanctions against not respecting norms, religion, customs, culture and values ​​in society? The answer is not yet.
One example that tourists do not respect the norms, religion, customs, culture and values ​​in society is using to wear a bikini on the beach? kissing on the roadside? Whether it is in accordance with the norms, religious, cultural mores and values ​​in society? NO, then, does it give a warning to travelers sanctions? NO.
So it is natural that the norms, religion, customs, culture, and values ​​in society have started to fade, and it is natural also our country is still on the runway, still swirling and left on the runway because we no longer has identity.

If we look at the Asian countries memeprtahankan native cultures: China, Japan, India, Korea and even Thailand. In 50-60 years after independence, or after free from foreign influence, these nations are already taking off

Friday, 18 September 2015

Konsep hukum dan ide keadilan

Konsep hukum dan ide keadilan



Upaya untuk membebaskan konsep hukum dari ide keadilan bukanlah persoalan mudah, sebab kedua konsep tersebut selalu dicampur-adukkan di dalam pemikiran politik yang tidak ilmiah dan juga di dalam pembicaraan umum, dank arena pencampuradukan kedua konsep ini berkaitan dengan kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil. Jika hukum dan keadilan disamakan, jika tatanan yang adil saja disebut hukum, maka tatanan social yang disebut hukum dalam waktu yang sama juga akan disebut adil. Dan itu berati bahwa tatanan social ini dibenarkan secara moral. Kecenderungan untuk menyamakan hukum dan keadilan merupakan kecenderungan untuk membenarkan tatanan social tertentu. Ini suatu kecenderungan politik, bukan cenderungan ilmiah. Dikerenakan adanya kecenderungan ini, usaha untuk memperlakukan hukum dan keadilan sebagai dua persoalan yang berbeda dikhwatirkan akan mengsampingkan seluruh persyaratan bahwa hukum positif harus adil. Persyaratan ini sangatlah jelas. Namun apa arti sesungguhnya hukum murni sama sekali tidak menolak persyaratan bagi hukum yang adil dengan menyatakan bahwa teori itu sendiri tidak kompeten dan di mana letak unsur terpentingnya dari keadilan tersebut. Teori hukum murni sebagai ilmu tidak dapat menjawab pertanyaan samacam ini karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat menjawab secara ilmiah. Apa arti sesunggihnya dari pertanyataan bahwa tatanan social tertentu merupakan sebuah tatanan yang adil? Pernyataan ini berate bahwa tatanan tersebut mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuasakan bagi semua orang sehingga meraka semua menemukan kebahagiaan didalamnya. Kerinduan akan keadilan merupakan kerinduan abdi manusia akan kebahagian. Kebahagian inilah yang tidak dapat ditemukan oleh manusi sebagai seorang individu terisolasi dan oleh sebab itu ia berusaha mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah kebahagian social. 

Batasan Pemekaran Kecamatan

            Batasan Pemekaran Kecamatan
Menurut Pasal 1 PP Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan, pembentukan Kecamatan adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Kecamatan di kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan Pasal 2 ayat (2) mengatur pembentukan Kecamatan atau lebih, dan atau penyatuan wilayah desa dan atau kelurahan dadri beberapa Kecamatan. Peraturan pemerinatah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat pembentukan Kecamatan terdapat pada Pasal 4 yaitu, syarat  pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi: [1]
  1. Batas usia penyelenggaraan pemerintah minimal 5 (lima) tahun;
  2. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
  3. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan forum komunikasi kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah Kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah Kecamatan baru maupun Kecamatan induk tentang persetujuam pembentukan Kecamatan
  4. Keputusan kepala desa atau nama lain untuk desa dan keputusan lurah atau nama lain untuk kelurahan diseluruh wilayah Kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayah Kecamatan baru maupun kecamtan induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan.
  5. Rekomendasi Gubernur.
Selanjutnya pada Pasal 5 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasicalon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. Makna cakupan wilayah diatur secara lebih rinci dalam Pasal 6 PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:[2]
1)      Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk daerah kabupaten paling sedikit terdiri dari atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan.
2)      Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, social ekonomi, social politik, dan social budaya
3)      Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor Camat yang dapat digunakan untuk memeberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan mengatur persyaratan teknis pemerkaran Kecamatan, yaitu:[3]
(1)   Persyaratan teknis sebagaiamana dimaksud dalam Pasala 3 ini, meliputi:
a.       Jumlah penduduk;
b.      Luas wilayah;
c.       Rentang kendali penyelengaraan pelayanan pemerintahan;
d.      Aktivitas perekonomian;
e.       Ketersediaan saran dan prasarana;
(2)   Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 7 dinilai bedasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerfintah kabupaten/kota sesuai indicator sebagaimana dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tantang Kecamatan
Kriteria pemekaran Kecamatan yang mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 yang terdapat di Pasal 3 yaitu variable utama jumlah minimal penduduk, luas wilayah dan jumlah desa/kelurahan.
Syarat jumlah penduduk dalam pemekaran Kecamatan yang terdapat di Pasal 4 dan syarat tentang luas wilayah Kecamatan terdapat di Pasal 5 sebagaimana dimaksud Pasal 3 Keputusan Menteri Dalam Negari Nomor 4 Tahun 2000.
Akan tetapi kriteria pemekaran Kecamatan di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tidak digunakan lagi karena sudah terbit PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Persyaratan teknis sebagaimana dikemukakan di Pasal 4, 5, 6, dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, dinilai berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan indkator yang tertera pada lampiran PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan.




[1] Nurmayani, S.H., M.H., Op, Cit,.hlm.51
[2] Ibid, hlm. 52
[3] Ibid.

Tuesday, 9 December 2014

Pemekaran Daerah dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Good governance

    Pemekaran Daerah dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Good governance

Seiring dengan era reformasi Tahun 1998, lahirnya Undang-Undang Nomor  22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah yang bertumpu pada Kabupaten/Kota diberi kesempatan dan keleluasaan berkreasi, berinovasi mempercepat laju pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Pemberian hak otonom tersebut bukan semata-mata hanya untuk memekarkan suatu daerah, tetapi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance[1].

Asal mula munculnya “good governance” pada awal tahun 1900-an, diadakan pertemuan Negara-negara donor yang dipromotori oleh Bank Dunia. Pertemuan ini, kemudian dikenal sebagai “Konsensus Washington”. Dalam pertemuan itu terungkap, banyak bantuan asing “bocor” akibat praktik bad governance (pemerintah yang tidak akuntabel, tidak transparan, penyalagunaan wewenang, korupsi, dan lain-lain.). oleh karena itu, kemudian disepakati bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan, yaitu kesediaan untuk mempratikkan good gavernance. [2]

 Konsep good governance bahwa pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun penyedian jasa Pelayanan dan infastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut.[3] Governance menuntut redefinisi[4] peran Negara, dan itu berarti adanya redefinisi pula pada peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.[5]
Jika kita mengacu pendapat World Bank memberikan definisi terhadap governance sebagai

 “the way state power is used in managing economic and sosial resources for development of society. United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative acthority to manage a nation’s affair at all levels.”

Dengan demikian, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administrasi pada pengelolaan Negara.[6]

Para pakar dan praktisi adminsitrasi negara indonesia. Istilah"Good Governance" telah diterjamahkan dalam berbagai istilah misalnya. penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokromidjojo). Tata pemerintahan yang baik (UNDP). pengelolahan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (LAN) dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Clean Goverment). [7]

Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Merujuk pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar.[8]

Membangun good governance dibutuhkan perubahan yang menutut adanya ciri kepemimpinan pada masing-masing pihak yang memungkinkan terbangunya partnership di antara stakeholder [9] di dalam lokalitas tersebut. Partnership adalah hubungan kerja sama atas dasar kepercayaan, kesetaraan dan kemandiriaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak eksekutif maupun legislative, tidak dapat lagi menerapkan model kepemimpinan yang mengasumsikan stakeholder lain sebagai “ pengikut” pasif yang akan menerima setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Dalam good governance, pemerintah dan legislatif harus lebih dekat dengan warga dan inklusif melibatkan warga, baik dari sektor swasta maupun civil society, baik perempuan maupun laki-laki,kelompok tua maupun kelompok muda.[10]

Menurut UNDP karakteristik good governance, sebagai berikut :
1)      Participation ; Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
      keputusan, baik secara langsung maupun secara intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar keabsahan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2)      Rule of law ; Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3)       Transparancy ; Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus informasi. Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
4)      Responsive ; Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk
      melayani setiap stakeholders.
5)      Consensus Orientation ; Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6)       Equity ; Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7)       Effectiveness and effeciency ; Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8)      Accountability ; Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9)      Strategic vision ; Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini[11].

Kemudian, Negara Indonesia untuk mencapai good governance maka menerapkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL), AAUPL ini dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang menjadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelengaraan pemerintahan yang layak, dengan cara demikian penyelengaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelangaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tidakan sewenang-wenang.[12]

Selanjutnya, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) dapat dilihat di peraturan-peraturan di indonesia salah satunya Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, dalam Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “penyelengaraan pemerintahan berpedoman pada Asas-asas Umum Penyelengaraan Negara yang terdiri atas, asas kepastian hukum, asas tertib penyelengaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proposionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektif”.[13]






[1] Ir. Manggidar Simbolon, Tujuan Pemekaran Daeah adalah untuk Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Good governance,
 http://tolping-samosir.blogspot.com/2009/04/ir-mangindar-simbolon-tujuan-pemekaran.html 
(diakses tanggal 21-06-2013)
[2] Dr. Pandji Santosa, M.Si.,Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good governance,(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 130
[3] Hetifan JS Sumarto, Inovasi,pratisipasi dan Good Gavernance; 20 Prakasa inovasi dan pratisipasi di Indonesia, (Yayasan Obor Indonesia,2009; Jakarta ). hlm. 1
[4] Yang dimaksud Redefinisi adalah kemampuan merumuskan batasan dengan melihatnya dari sudut lain, bukan dari cara yang  lazim
[5] Ibid, hlm.2
[6] Dr. Yuswanto, S.H., M.H. Hukum Desentralisasi Keuangan,(Rajawali Pres. Jakarta, 2012), hlm. 99
[7] INKINDO Jawa Tengah, http://www.inkindo-jateng.web.id/?p=779, (diakses 14-06-2013, Pukul 20:55Wib)
[8] Goto Kuswanto, SIP.MM, http://www.banyumaskab.go.id/berita/berita_detail/246 (diakses tanggal 14-06-2013, Pukul 21:00wib)
[9] Stakeholder  dimaknai sebagai individu,kelompok atau oraganisasi-perumpuan dan laki-laki yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (secara positif maupun  negative) oleh kegiatan atau program pembangunan
[10] Hetifan JS Sumarto, Inovasi, pastisipasi dan Good gavernance: 20 prakasa inovasi dan partisipasi di indonesia,(Jakarta; Yayasan obor Indonesia,2009). hlm.25

[11]Rasidin Sapawula, Konsep Good governance

 http://mandalaputrayes.blogspot.com/2011/10/konsep-good-governance.html  (diakses tanggal 14-06-2013, jam 22:05wib)
[12] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Grafindo persada,2006; Jakarta). hlm.247
[13] Ridwan HR, Op.Cit. Hlm.256